TEMPO.CO, Jakarta - Ahli pidana anak Ahmad Sofian menilai vonis terhadap AG, 15 tahun, dalam kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy terlalu berat. AG divonis pidana 3 tahun 6 bulan penahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPAK).
“Vonis AG selama 3 tahun 6 bulan untuk ditempatkan di LPKA sama sekali tidak tepat,” kata Ahmad Sofian saat dihubungi Tempo, Selasa, 11 April 2023.
Menurutnya dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak lebih menekankan pada aspek pemulihan, rehabilitasi, asimilasi pada anak yang berhadapan dengan hukum.
“Jadi, pendekatan punitif pada anak sebagai pelaku pidana harusnya dihindari,” ucapnya.
Ahmad menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ada dua jenis sanksi yakni tindakan dan pidana. Ahmad menilai penempatan penahanan AG juga tidak tepat.
“Sanksi yang pertama harus diterapkan adalah tindakan. Bentuk tindakan ini di antaranya rehabilitasi LPKS (Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial) yang berada di Kementerian Sosial,” tuturnya.
Penahanan AG di LPKS bertujuan untuk memulihkan mental, psikologi dan memperbaiki perilakunya.
“Jadi benar-benar restorasi agar kelak AG bisa berubah karakternya. Bisa saja hakim menjatuhkan 1 sampai 2 tahun ditempatkan di LPKS agar AG benar-benar bisa kembali hidup normal,” ucapnya.
Hakim Dianggap Tak Paham Kondisi LPKA
Sedangkan pada persidangan, AG dijatuhi hukuman pidana 3,5 tahun dan ditempatkan di LPKA. Ahmad menilai hakim tidak paham dengan kondisi LPKA.
“Menunjukkan hakim yang memeriksa dan memutuskan perkara ini tidak paham bagaimana kondisi real LPKA,” tuturnya.
Ia menjelaskan LPKA merupakan adopsi dari LAPAS anak karena di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Anak ditempatkan di sana untuk menjalani hukuman bukan dipulihkan mental, kondisi sosial dan perilakunya.
Selain itu, di Indonesia saat ini belum ada LPKA khusus perempuan. Sehingga AG yang ditahan di sana merupakan anak perempuan pertama.
“Kemungkinan akan dibuat sekat atau blok sel khusus untuk AG atau kemungkinan AG akan ditempatkan di lapas perempuan dewasa. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada AG tiga tahun ke depan. Ini menunjukkan perspektif anak pada hakim yang memeriksa AG perlu dipertanyakan,” katanya.
Ahmad Sofian menilai putusan hakim tidak netral karena ada campur tangan kepentingan dendam.
“Korban sudah diwakili kepentingan oleh jaksa sehingga dalam menjatuhkan putusan maka hakim akan mempertimbangkan dakwaan dan tuntutan jaksa. Dalam kasus ini terkesan keluarga korban mendesak hakim menjatuhkan pidana tinggi,” tuturnya.
Padahal menurutnya untuk anak yang berhadapan hukum bukan pemidanaan yang menjadi fokus utama. Akan tetapi, perbaikan sikap perilaku di masa depan. “Karena anak-anak masih bisa diperbaiki sikap dan perilakunya. Harusnya hakim memutus mempertimbangkan semua sisi bukan saja mempertimbangkan kepentingan keluarga korban,” katanya.
Selanjutnya kuasa hukum korban D minta Jaksa banding vonis AG...