TEMPO.CO, Jakarta - Sudah sebulan sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menutup pabrik arang di Lubang Buaya, tapi kualitas udara di sana masih buruk. Eks pekerjanya pun merasa diperlakukan seperti kriminal
Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang diukur sejumlah stasiun pemantau kualitas udara milik Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menunjuk kategori Tidak Sehat di beberapa titik pada pagi ini, Senin, 2 Oktober 2023. Dua dari lima lokasi stasiun memberi angka indeks 133 dan 152 yang tergolong Tidak Sehat, masing-masing, di Bundaran HI dan Lubang Buaya.
Indeks diukur pukul 05 WIB untuk parameter polutan debu halus PM2,5. Sebanyak tiga lokasi stasiun lainnya menunjukkan ISPU yang tergolong Sedang. Ketiganya adalah Kebon Jeruk, Kelapa Gading, dan Jagakarsa. Tapi untuk dua yang terakhir memiliki angka indeks 99 dan 92, atau mendekati batas Tidak Sehat (101-199).
Kulitas udara yang lebih buruk dicatatkan pada Minggu sore lalu. Saat itu tiga lokasi stasiun memantau polusi udara PM2,5 yang Tidak Sehat yakni di Lubang Buaya, Bundaran HI, dan Kelapa Gading. Di Lubang Buaya bahkan angka indeksinya terukur 199, atau hampir Sangat Tidak Sehat (200-299).
Eks Pekerja Pabrik Arang Merasa Diperlakukan Seperti Kriminal
Tempo menemui Nung dan Giwang, mantan pekerja pabrik arang yang memilih bertahan meski mata pencahariannya sudah ditutup.
Keduanya kini beralih profesi sebagai pengepul atau kuli ampas kelapa. Nung mengatakan, penghasilan yang didapatkan dari pekerjaan itu jauh menurun dibanding saat masih bekerja di pabrik arang.
Nung dan Giwang tinggal di satu gubuk kecil. Mereka mengontrak dari pemilik lahan. Biaya sewa per bulannya, kata Giwang, Rp500 ribu. Sejak pabrik arang dilarang beroperasi, mereka belum mampu membayar biaya sewa kontrakan itu.
"Penghasilan sekarang kisaran Rp40-60 ribu, cuma cukup untuk makan," kata Giwang saat ditemui di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Sabtu, 30 September 2023.
Tak hanya sampai di situ, Nung mengatakan petugas dari Pemprov DKI kerap datang ke pabrik arang untuk memastikan mereka tidak lagi memproduksi.
Menurut dia, pemerintah memperlakukan mereka selayaknya kriminal. Padahal, kata Nung, mereka hanya bekerja dari mata pencaharian yang ada.
"Kesannya kami ini kayak maling. Harusnya jangan ditutup permanen, tapi dibatasi saja produksi hariannya. Jadi kami tetap bisa kerja," ujar Nung.
ZACHARIAS WURAGIL | NOVALI PANJI NUGROHO
Pilihan Editor: Klarifikasi Petinggi Kelompok Relawan Ganjar yang Diusir dari CFD: Hanya Nyebrang