TEMPO.CO, Jakarta - Tempat Pembuangan Akhir atau TPA Bantargebang milik Pemprov DKI Jakarta di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi terbakar pada Minggu, 29 Oktober 2023. Kebakaran pertama kali muncul di Zona 2 TPST Bantargebang, di depan lokasi Power House dan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto mengatakan, pihaknya yang dibantu Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta, dan Kota Bekasi telah menerjunkan puluhan armada mobil pemadam untuk memadamkan api. Termasuk puluhan ekskavator untuk membalik sampah yang terbakar dan melakukan penyiraman. "Alhamdulillah dalam kurang 3 jam kami berhasil kuasai," kata Asep.
Profil TPA Bantargebang
Tempat Pembuangan Akhir Bantargebang, yang kini berganti nama menjadi Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang berada di Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi. TPA Bantargebang ini dibangun untuk menampung sampah dari Ibu Kota.
Dikutip dari laman resmi Unit Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, TPA Bantargebang pertama kali berdiri atas dasar kerjasama antara Pemerintah Kota Bekasi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Saat itu, Pemerintah Jakarta memberikan kompensasi berupa dana tunai sebesar Rp 8 miliar ke Pemerintah Kota Bekasi. DKI Jakarta juga bertanggung jawab atas infrastruktur di lingkungan sekitarnya.
Kerja sama itu berlangsung hingga 1999 silam. Setahun setelahnya hingga 2004, terjadi perubahan bentuk kerja sama seperti dana kompensasi bertambah menjadi Rp. 14 Miliar. Tak hanya itu, peralihan operator lapangan yang sebelumnya dipegang oleh Pemerintah DKI, kemudian diserahkan ke pihak Bekasi.
Mengutip buku "Konflik Sampah Kota", karya Sejarawan Bekasi, Ali Anwar, TPA Bantargebang sudah ada sejak 1985. Lokasinya berada di Kelurahan Cikiwul, Sumur Batu, dan Ciketing Udik. Pemerintah DKI Jakarta yang kala itu dipimpin Gubernur Soeprapto membeli lahan itu dari dua pemiliknya, Kurnia seluas 100 hektar dan Zaelani Zein 15 hektar.
Sebelumnya, lokasi ini merupakan galian-galian besar yang ada sejak 1978. Tanahnya diambil untuk proyek properti di Jakarta seperti Sunter Podomoro dan Kelapa Gading di Jakarta Utara.
TPA Bantar Gebang mulai beroperasi sejak 1989. Kemudian mengalami peningkatan pada 2021. Saat ini, TPA Bantar Gebang memiliki luas lahan 113,15 hektar yang terdiri dari landfill 81,40 hektar dan sarpras 23,30 hektar.
Dikutip dari pu.go.id, TPST Bantargebang menerima 7.702,06 ton sampah dari Jakarta per hari. Sampah tersebut berasal dari pemukiman sebanyak 6.571 ton/hari (85,3 persen), pasar 5.931 ton (7,7 persen), kawasan mandiri 260,48 ton (3,4 persen), dan badan air serta Kepulauan Seribu 279,15 ton (3,6 persen). Komposisi dan karakteristik sampah itu terdiri sampah organik sebanyak 43 persen dan plastik dan PET (PolyEthylene Terephthalate) atau plastik yang bisa didaur ulang sebesar 35 persen.
Selain menampung sampah, TPA Bantargebang juga menjadi lokasi pilot project Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang merupakan kerja sama antara Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Pemprov DKI Jakarta. TPA ini mempunyai unit penangkapan biogas yang dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk pembangkit tenaga listrik. Dengan kapasitas 100 ton/hari, PLTSa menghasilkan output listrik hingga 700 kW/jam yang digunakan untuk keperluan internal PLTSa.
KHUMAR MAHYENDRA I ZACHARIAS WURAGIL I ADI WARSONO
Pilihan Editor: TPA Bantargebang Jadi Sorotan Dunia, Begini Sejarahnya