TEMPO.CO, Jakarta - Tiga berita terpopuler metropolitan pada Kamis pagi dimulai dari pakar tata negara sebut putusan MK bukan soal anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan ada cara berpikir yang salah karena dinasti politik sebenarnya berbicara tentang cara berpolitik dan bukan nama keluarga.
Berita terpopuler lain adalah ajakan Kaesang agar Gibran masuk PSI ditanggapi positif oleh para kader partai berlambang tangan menggenggam mawar itu. DPD PSI Bekasi bahkan tidak hanya akan menyambut Gibran, tapi juga Wali Kota Medan Bobby Nasution.
Berita terpopuler ketiga adalah penolakan warga RW 06 Kebon Sirih atas pengambilan lahan jalan MHT Gang X Kebon Sirih Timur oleh PT. GLD Property, anak perusahaan MNC Group. Perusahaan properti itu telah lebih dulu mengambil jalan MHT Gang IX. Sebelumnya warga juga sempat bersitegang soal tukar guling lahan masjid Kebon Sirih dengan MNC Group.
Berikut 3 berita terpopuler metropolitan pada Kamis, 9 November 2023:
1. Di Kuliah Kebangsaan BEM UI, Pakar Tata Negara: Ini Bukan Soal Gibran atau Tidak
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti kuliti putusan Mahkamah Konstitusi tentang batasan usia capres-cawapres dalam kuliah kebangsaan yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia atau BEM UI, Selasa 7 November 2023. Menurutnya, hal ini bukan soal anak Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka atau tidak, tetapi cara berpolitik dan negara hukum.
Bivitri mengungkapkan kalau di media sosial ada sanggahan-sanggahan yang keliru soal dinasti politik, seakan-akan mengandaikan kalau lingkungan keluarga maka tidak boleh masuk dalam politik. Menurutnya, itu cara berpikir yang salah karena dinasti politik sebenarnya berbicara tentang cara berpolitik dan bukan nama keluarga.
"Jadi kalau sekadar nama keluarga banyak sekali, seperti Bush Junior dan Bush Senior di Amerika Serikat, atau Clinton suami dan Clinton istri, atau Kennedy, di Indonesia juga kita punya beberapa keluarga politik," tuturnya.
Bivitri menilai keluarga politik tidak masalah karena memang normal seandainya satu keluarga berpolitik. Dia membandingkan dengan sebuah keluarga di mana orang tuanya lulusan mahasiswa teknik. "Di rumah pasti biasa membicarakan teknik elektro, mungkin anaknya menjadi lebih familiar dengan itu, ya itu wajar," katanya.
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini melanjutkan, tak masalah jika satu keluarga berpolitik. Yang jadi masalah adalah cara berpolitiknya, dan karenanya ahli ilmu politik, disebutkan Bivitri, mendefinisikan sebagai dinasti politik.
"Kenapa mereka pakai politik dinasti, justru merujuk pada cara-cara kerajaan yang mewariskan kekuasaan secara turun temurun," katanya merujuk kepada cara yang tanpa melihat kapasitas, tanpa melihat rekam jejak. "Pokoknya yang memiliki hubungan keluarga dengan orang yang sedang berkuasa, itu yang dipilih, nah itu yang namanya dinasti politik."
"Hanya untuk Gibran, Bukan Anak Muda"
Meski begitu, tetap saja, Bivitri mengungkapkan kalau dirinya selaku dosen juga memasukkan laporan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Seperti diketahui, Sidang MKMK pada hari yang sama telah memutus adanya pelanggaran kode etik berat oleh Ketua MK Anwar Usman dan memecatnya sebagai Ketua MK. Anwar yang adalah adik ipar Jokowi telah sebelumnya memimpin sidang MK yang memutus soal batas usia capres-cawapres hingga Gibran bisa mendaftar bakal cawapres.
Bivitri menjelaskan pelaporannya itu, bagi dirinya, bukan untuk menjegal kandidat, tapi lebih kepada tanggung jawab kaum intelektual. "Bayangkan saya harus ngajar di depan mahasiswa, saya bilang MK adalah the guardian of constitution, dengan mudahnya teman-teman sebagai mahasiswa bisa langsung tunjuk tangan, 'Sorry bu nyatanya enggak begitu', kan itu yang harus dilawan," katanya yang kembali menegaskan perihal cara berpolitik, bukan umur.
Alasan Bivitri, putusan perkara No 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat maju sebagai capres dan cawapres berusia paling rendah 40 tahun, yang kemudian ditambahkan MK atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, sangat jelas hanya ditujukan kepada Gibran.
Dia menunjuk ke pemohon sidang uji materi itu yang adalah mahasiswa dari Solo yang mengaku mengidolakan Gibran. "Dia kecewa, sebab dia jadi tidak bisa memilih Gibran karena belum berusia 40 tahun, yang kemudian (lewat putusan MK) diberikan jalan oleh pamannya (paman Gibran), ditambahkan kata-kata itu, itu yang terjadi," kata Bivitri.
Jadi, dia menambahkan, jika rakyat jelata usia mau 36 atau 20 tahun jika belum pernah menjadi bupati, gubernur atau anggota DPR, karena frasanya dipilih oleh pemilu, jangan berharap bisa jadi capres atau cawapres. "Jadi ini bukan untuk anak muda, putusan itu untuk Gibran, karena spesifik sekali di situ, siapa yang sekarang memenuhi kualifikasi itu, cuma dia (Gibran)."
Tapi, kembali, Bivitri menyatakan ini semua bukan Gibran atau tidak, atau bukan dirinya yang juga sebagai pelapor dan kalah di MK, tetapi soal negara hukum Indonesia. Sebab, menurutnya, baru sekali dalam sejarah bangsa Indonesia negara hukum dirusak sedemikian rupa di mana MK yang seharusnya menjadi wasit dalam pertandingan diseret sebagai pemain.
"Misalkan ada pertandingan sepak bola 11 lawan 11, sekarang wasit jadi pemain ke 12, bayangkan nanti dalam pertandingan (pilpres) Februari dan seterusnya, apakah semua wasit tidak akan netral, apakah ini adalah pemilu yang fair," kata Bivitri.
Yang harus dikritik adalah cara berpolitiknya, karena pemilu bukan hanya ke TPS, mencoblos atau tidak, tapi keseluruhan proses harus dengan cara yang fair untuk semua orang.
"Kalau dimulainya dengan cara tidak fair, jangan harap di ujung kita akan mendapatkan pemimpin yang betul-betul demokratis dan bisa membawa bangsa ini jadi seperti harapan kita semua," katanya sambil menambahkan, "Anak muda itu soal cara berpikir, bukan angka umur."
Selanjutnya Kaesang ajak Gibran gabung PSI, Kader juga berharap Bobby Nasution...