TEMPO.CO, Jakarta - Para aktivis hingga akademisi menolak Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang telah menjadi usulan inisiatif DPR pada Desember 2023. Penolak ini tergabung dalam Koalisi Bersama untuk Menolak RUU DKJ yang terdiri dari aktivis, pemerhati lingkungan, akademisi, dan praktisi.
Salah satu klausul RUU DKJ yang dipersoalkan adalah Pasal 10 ayat 2 tentang gubernur ditunjuk presiden. Koordinator Kelompok Studi Dialokota, Andesha Hermintomo, mengungkapkan pasal tersebut bakal mengubah sistem susunan pemerintahan untuk posisi gubernur dan wakilnya dipilih langsung oleh presiden tanpa pelibatan masyarakat.
Baca Juga:
"Bab IX mulai dari Pasal 51 hingga Pasal 60 mengenai pembentukan kawasan aglomerasi (juga bermasalah)," ucapnya saat dihubungi, Selasa, 2 Januari 2024.
Andesha menyebutkan ada beberapa perubahan dan penambahan konten lain dalam RUU DKJ yang dinilai bermasalah. Misalnya pasal tentang pembentukan kawasan aglomerasi.
Ia mengatakan bahwa pembentukan kawasan aglomerasi memerlukan RUU tersendiri. Sebab, katanya, kawasan aglomerasi tidak hanya wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur).
"Tapi juga terjadi di beberapa wilayah urban lainnya, seperti di Medan, Jogja-Solo-Semarang, Surabaya-Gresik-Sidoarjo-Mojokerto-Pasuruan, Makassar," ucap arsitek yang membangun ulang Kampung Akuarium di Jakarta Utara ini.
Andesha juga menyoal Pasal 55 ayat 3 yang berbunyi bahwa Dewan Kawasan Aglomerasi bakal dipimpin wakil presiden. Ia menilai tidak ada preseden dan dasar hukum yang dapat menguatkan ketentuan tersebut.
Menurut dia, ketentuan ini bertentangan dengan semangat desentralisasi dan penguatan otonomi daerah.
"Jika gubernur dipilih oleh presiden, serta dewan kawasan dipimpin oleh wakil presiden, maka wilayah Jabodetabekjur pada dasarnya hanya akan menjadi instrumen langsung pemerintah eksekutif pusat," kata Andesha.
Masih soal isu aglomerasi, Andesha menyinggung Pasal 58 ayat 4 dan 5 RUU DKJ. Dalam pasal itu tertera bahwa penunjukan Kepala dan Wakil Kepala Badan Layanan Aglomerasi dipilih para kepala daerah berdasarkan proporsi penyertaan modal atau saham.
"Hal ini bertentangan dengan proses demokrasi karena penyelenggaraannya lebih mirip sebuah perusahaan terbatas (PT)," ucapnya.
Dominasi Jakarta dengan kekuatan modal paling besar dibandingkan wilayah lainnya, menurut Andesha, bakal berakibat pada relasi yang asimetris antarkepala daerah.
Ia menuturkan Koalisi Bersama untuk Menolak RUU DKJ akan membuat petisi penolakan pengesahan RUU DKJ menjadi undang-undang. Mereka pun berencana menggelar lokakarya pada Januari dan Februari, serta membuat naskah kajian kritis RUU DKJ dengan menggandeng beberapa pihak yang terdampak.
"Sebenarnya RUU DKJ jika hanya mengatur tentang perubahan status dan nama wilayah, tidak masalah," ucap Andesha.
Pilihan Editor: Top 3 Metro: Beda Pendapat Warga Jakarta Ibu Kota Pindah ke IKN, Depok Open Space Becek, Nonton Wayang Semalam Suntuk di TMII