TEMPO.CO, Jakarta - Satu di antara warga yang menghuni paksa sejumlah unit hunian di Kampung Susun Bayam di kompleks Jakarta International Stadium (JIS) adalah Sutini. Perempuan berusia 49 tahun itu tinggal bersama suami dan satu anak laki-lakinya yang telah menginjak remaja.
Ditunjukkannya unit hunian seluas 36 meter persegi di lantai dua yang mereka tinggali saat TEMPO datang pada Rabu pekan lalu. Unit itu dipilihnya usai bersama puluhan keluarga lain menjebol dan mengganti kunci dari pintu-pintu yang ada pada akhir November 2023.
Baca Juga:
Unit memiliki dua kamar tidur yang seluruhnya diisi Sutini dengan kasur lantai. Pada kamar yang pertama, dekat pintu masuk, ia menambahkan pula lemari di antara barang-barang lainnya.
Pada kamar yang pertama ini juga tampak dindingnya tak sampai ke plafon unit. Ada sisa ruang antara atap kamar ini dan plafon tersebut. Ruangan itu berbatasan langsung dengan jendela kaca untuk sirkulasi udara di dinding atas depan hunian, berjajar dengan yang ada di atas pintu masuk.
Selain ruang tamu dan dua kamar, unit juga dilengkapi kamar mandi atau toilet, meja dapur, serta ruang jemur pakaian di balkon. Seluruhnya membuat kehidupan Sutini jauh lebih layak dan nyaman ketimbang saat dia dan keluarganya masih 'ngampar' di selasar di lantai satu kampung susun itu.
Kekurangannya adalah tak ada fasilitas listrik dan air bersih yang mengalir untuk unit hunian yang ditinggali Sutini dan keluarganya itu. Faktanya, tak mengalir untuk seluruh warga di sana.
Listrik untuk penerangan dan suplai air bersih disumbat oleh PT Jakarta Propertindo atau Jakpro sebagai pengelola rusun itu. Alasannya, Sutini dan yang lainnya ilegal.
“Buat mandi, nyuci, ya, jadinya ambil air dari luar," kata Sutini. Awalnya warga mencari air bersih ke fasilitas di JIS. Belakangan mereka menggali sumur sendiri di dalam lingkungan Kampung Susun Bayam itu.
"Kalau listrik kami pakai genset. Tiap warga iuran," ujar Sutini sambil menambahkan, "Tapi kalau tidak sanggup bayar ya tidak apa-apa (tidak memakai listrik). Sesuai kebutuhan.”
Harga Sewa yang Diminta Jakpro
Sutini tergabung dalam Kelompok Tani Madani Kampung Bayam yang datang ke kampung susun itu dari hunian sementara mereka di Jalan Tongkol, Ancol. Mereka, warga eks Kampung Bayam yang terdampak proyek JIS, menyatakan mengklaim hak atas hunian di Kampung Susun Bayam yang mereka dapat dari era Gubernur Jakarta Anies Baswedan.
Itu sebabnya mereka sempat tinggal di selasar lantai dasar rusun tersebut sekalipun sudah diberikan ganti untung dari proyek JIS. "Kami sudah tinggal selama satu tahun dua bulan di KSB ini," kata Ketua Kelompok Tani Madani Kampung Bayam Muhammad Furkon.
Warga Eks Kampung Bayam yang tergabung dalam Kelompok Petani Kampung Bayam Madani (KPKBM) bertahan di rumah susun Kampung Susun Bayam pada Kamis, 11 Januari 2024. Dokumen istimewa/Muhammad Taufiq
Furkon mengaku sudah dijanjikan ruang-ruang yang dapat dikelola warga untuk bertani bayam dan sayuran lainnya. Mengingat dulunya mereka adalah kelompok tani binaan.
Lahan untuk bertani itu memang nampak dari depan dan juga sekitar KSB. Warga bahkan sudah mencoba menanam kacang-kacangan. Sebagai warga yang dari kecil tinggal di sana, Furkon beserta anggota kelompoknya merasa harus mempertahankan kampung halamannya.
Berdasarkan negosiasi terakhir, sebelum macet dan warga akhirnya memaksa masuk, Jakpro mematok harga sewa unit di kampung susun yang baru diresmikan Oktober 2022 lalu itu sampai sebesar Rp 765 ribu. Biaya itu sesuai Pergub Nomor 55 Tahun 2018 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan.
Itu artinya, berdasarkan pergub, Jakpro memberlakukan warga eks Kampung Bayam itu sebagai warga umum--bukan terprogram yang antara lain mencakup warga korban relokasi atau penggusuran. Bandingkan harga sewa maksimum untuk warga terprogram di Kampung Susun Bayam, menurut pergub, sebesar Rp 394 ribu.
Biaya dengan patokan warga umum itu dianggap memberatkan wara eks Kampung Bayam sehingga Jakpro dan Pemerintah DKI menawarkan opsi relokasi ke Rusun Nagrak di Cilincing. Jakpro berujar telah memberikan fasilitas setara di Nagrak, yakni unit tipe 36 dengan dua kamar, ruang tamu, kamar mandi, dapur, dan balkon untuk menjemur pakaian.
Adapun, fasilitas umum lainnya adalah lift, masjid, taman bermain anak, lapangan olahraga, tempat parkir sepeda motor, dan juga bus sekolah.
Namun, menurut Furkon, kesulitan akses atau mobilitas di Rusun Nagrak bukanlah alasan mereka tidak mau pindah. “Kalau akses sih bisa terjangkau, cuman mereka harus memikirkan ruang hidup kami. Terus ekonomi kami mau gimana?” kata dia.
Pilihan Editor: KDRT Berulang Pegawai BNN, Korban Cabut Laporan dan Berdamai Lagi