TEMPO.CO, Depok - Pinjam Rp 20 juta ke seorang diduga rentenir, utang Sugi Mulyo, 60 tahun, telah membengkak jadi Rp 500 juta. Sugi pun kini terancam kehilangan rumah seluas 324 meter persegi di Kampung Lio, RT 03/19 Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.
Maksud hati hendak merahasiakan utangnya itu dari keluarga karena malu, sekarang malah seluruh masyarakat sekitar tahu semua. Gara-garanya, gaduh pendudukan aset rumahnya itu oleh preman suruhan si rentenir dan perlawanan Sugi dengan meminta bantuan tokoh masyarakat serta kepolisian setempat.
Sugi menuturkan kalau awalnya meminjam uang pada November 2006 kepada M yang dikenalkan tetangganya. Pinjamannya saat itu sebesar Rp 10 juta dengan bunga 10 persen per bulan untuk usaha borong kabel PLN.
"Tapi usaha saya enggak jalan. Utang Rp10 juta ini saya tambah lagi Rp10 juta pada April 2007," kata Sugi saat ditemui di rumahnya, Minggu, 14 Januari 2024.
Untuk total pinjaman Rp 20 juta itu, Sugi memberikan jaminan berupa sertifikat tanah seluas 120 meter persegi di Kampung Lio RT 7/19 Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas. Sugi mengaku tak memiliki bukti kuitansi untuk pinjaman dana tersebut.
"Semuanya saya transaksi di rumah dia di Jalan Bangka, Jakarta. Saksi dari dia, namanya Sugiarto, pengawalnya, sedangkan kalau saya enggak ada (saksi)," kata Sugi.
Sugi mengaku mencicil Rp 2 juta sebagai kompensasi bunga 10 persen dari pinjaman Rp 20 juta dan tidak ada kuitansi dari Mei, Juni dan Juli 2007. Lalu, pada 12 Februari 2008 ia diinformasikan M kalau pinjamannya sudah menjadi Rp 100 juta sudah termasuk pokok dan bunganya, tanpa rincian perhitungan yang jelas.
Saat itu Sugi mengaku takut karena istri tidak mengetahui ihwal pinjaman Rp 20 juta dan malu dengan warga kalau M membuat gaduh di lingkungan rumahnya. Jadi, karena tidak bisa bayar Rp 100 juta, dia ditawari solusi bikin kuitansi seakan pinjam Rp 100 juta.
"Akhirnya saya buat kuitansi, tapi dipegang dia saja," kata Sugi. Setelah itu, sertifikat atas tanah seluas 120 meter persegi yang menjadi jaminan awal ditukar dengan sertifikat tanah rumah Sugi di RT 03/19 seluas 324 meter persegi.
Setelah itu, pada 6 September 2009, M kembali memanggil Sugi ke rumahnya dan ditagih lagi menjadi Rp 300 juta. Kali ini dia sempat protes terhadap tidak jelasnya perhitungan bunga.
"Kalau hitungannya jelas saya kan tidak terlalu keberatan, setelah saya hitung ternyata tidak sampai, tapi beliau tetap meminta saya bayar Rp 300 juta," katanya sambil menambahkan, "Kata pengawalnya, 'kalau tidak mau, akan diramaikan dan dilaporkan ke polisi' dengan nada menekan saya."
Kali ini Sugi harus membuat surat pernyataan kalau ia tidak bisa membayar maka harus menyerahkan rumah ke M. "Itu permintaan dia, saya sempat berdebat, pengawalnya marah, akhirnya saya buat surat pernyataan itu."
Selanjutnya, pada 20 Oktober 2009, M kembali memanggil Sugi dan mengatakan utangnya sudah Rp 500 juta. Jika tidak bisa membayar, pengawal M akan membawa pasukan dan membuat ramai di rumahnya. "Akhirnya saya dipaksa membuat surat jual beli sementara, agar itung-itungan bunga stop," katanya.
Pada 23 April 2011 ia ditagih untuk melunasi utang Rp 500 juta, tetapi Sugi belum memiliki uang dan berencana menjual rumahnya dulu. Dia kembali membuat surat pernyataan untuk menyelesaikan utangnya pada 25 April 2011.
"Saya dikasih waktu 2 hari, tujuannya untuk balik nama dan penyerahan hak (sertifikat tanah 324 meter). Semua ke arah situ semua, kalau saya tidak bisa bayar," kata Sugi.
Pada 2015 tiba-tiba sertifikat rumah Sugi sudah balik nama atas nama M tanpa sepengetahuan dirinya. Sugi menuding tanda tangan Sugi serta istri pada akta jual beli (AJB) dipalsukan.
"Saya baru tahu AJB dan sertifikat rumah saya sudah balik nama pada tahun 2019 oleh beliau, saat saya disomasi oleh pengacara M yang berkantor di Cinere," katanya. Pengacara itu datang ke rumahnya di Depok bersama serombongan orang.
Saat itu pula, ia meminta bantuan tokoh masyarakat Idrus Al Gadri, mantan Ketua FPI Depok, untuk berunding dengan pengacara M. Didukung anggota kepolisian setempat yang kemudian datang ke lokasi, rencana pengosongan paksa dan pemasangan spanduk bahwa rumah Sugi sudah milik M pun dapat dicabut.
"Saya dan istri tidak pernah tanda tangan AJB, tidak pernah datang ke notaris, saya akhirnya lapor polisi," ucap Sugi.
Idrus Al Gadri mengatakan cukup banyak korban terjerat rentenir yang mengadu kepadanya. Ada sedikitnya 28 orang di wilayah Beji dan yang sudah selesai baru 7 kasus.
"Modusnya sama, umpamanya dia pinjam Rp 7 juta, satu bulan itu ada bunga tuh, dia bayar Rp 7 juta sama bunganya, misalnya bunganya Rp 500 ribu, bulan berikutnya dia harus bayar lagi Rp 7,5 juta plus bunganya, kan makin membengkak," kata pria yang disapa Habib Idrus tersebut.
Pilihan Editor: Video Bullying Siswi SMA sampai Terjengkang ke Bak Sampah di Tangsel Viral