TEMPO.CO, Jakarta - Intimidasi mahasiswa bermula saat sejumlah pengurus badan eksekutif mahasiswa dari berbagai kampus rapat membahas persiapan unjuk rasa pada pukul 19.00 WIB, di kawasan dekat Universitas Trilogi, Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu malam, 3 Februari 2024. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Trisakti Lamdahur Pamungkas mengatakan, hampir satu jam lebih diskusi berjalan, muncul orang tak dikenal.
"Teman-teman Trilogi melihat beberapa oknum, yang sebenarnya secara background ini bukan mahasiswa. Ini udah bergaya kayak preman," kata Lamdahur kepada TEMPO melalui sambungan telepon, Ahad, 4 Februari 2024.
Kesimpulan orang yang mendatangi tempat diskusi di Balai Warga itu berciri preman yakni, dari sosok tubuhnya yang besar dengan perawakan lebih tua dari mahasiswa yang sedang rapat. "Gayanya, gaya intel banget. Pakai masker, topi, kupluk, terus jaket," tutur dia.
Mahasiswa yang terkejut melihat kedatangan sejumlah pria bertubuh besar itu lantas melontarkan pertanyaan. Menjawab para mahasiswa, pria yang menurut Lamdahur sekitar 15 orang itu menjawab mereka mahasiswa. "Dia pertama ngaku-ngaku mahasiswa. Ketika ditanya kartu tanda mahasiswa, tidak ada," ucap dia.
Setelah mengetahui sejumlah pria itu bukan mahasiswa, Lamdahur dan peserta rapat lainnya mulai mengawasi supaya diskusi itu masih bisa berlanjut. Mereka pun menutup pintu pagar Balai Warga, yang menjadi tempat konsolidasi. Namun para preman bersikeras masuk ke arena rapat.
Mahasiswa tak mengizinkan para pria itu masuk. Desakan membuat mahasiswa di forum itu merasa semakin aneh. Menurut mahasiswa Trisakti itu, mereka semakin khawatir karena para pria itu bertindak sewenang-wenang. Ada yang merekam gambar mahasiswa di Balai Warga itu. "Terus mereka intimidasi," ujar Lamdahur.
Sejurus kemudian, Lamdahur bercerita, sejumlah mahasiswa Universitas Trilogi memutuskan mengawasi para preman yang mau merangsek masuk dan melancarkan intimidasi. Para preman itu juga berusaha membubarkan rapat tersebut. Hingga seorang di antara mereka melakukan kekerasan fisik dengan menjitak kepala mahasiswa Universitas Trilogi. "Si pelaku ini menjitak kepala si korban," tutur dia.
Setelah desakan preman memuncak, para mahasiswa di forum rapat keluar menemui para preman itu. Lamdahur bercerita, saat dihampiri para pria berbadan tegap sempat beralasan mereka punya saudara yang juga mahasiswa mengikuti rapat itu. Rapat konsolidasi ini melibatkan 31 organ mahasiswa, yang diwakili BEM serta sejumlah organisasi masyarakat.
Dia mengatakan preman itu menyebut salah satu nama di antara mahasiswa itu. "Pada saat kami tanya si A, dia mengaku enggak mengenal itu siapa. Ya, berarti makin memperkuat bahwa ini intimidasi," tutur dia. Mereka bergeser dari pusat Balai Warga dan bernegosiasi kembali dengan orang tak dikenal itu tak jauh dari lokasi rapat.
"Sampai pada momentumnya oknum ini mulai mengintervensi berlebihan dengan mengancam bahwa ruang konsolidasi kami bakal diserang," tutur Lamdahur, mengingat omongan preman berbadan tegap. Mahasiswa malam itu sempat bertanya apa alasan mereka akan diserang.
Namun para pendatang tak dikenal itu berkilah. "Karena mau diserang makanya kami memberitahu," tutur Lamdahur, menirukan ucapan intimidasi para preman ini. Kepada preman itu, mahasiswa menyampaikan informasi yang memberitahu mereka akan diserang itu cara memberikan rasa aman kepada mahasiswa.
Sebab itu, Lamdahur menuturkan, mahasiswa malam itu sempat meminta supaya mereka tak mengusik rapat tersebut. "Alah, kami tahu kalian mau berdemonstrasi, kan? Kalau kalian mau berunjuk rasa maka akan berhadapan dengan kami," kata dia, menirukan ucapan para preman, kemarin malam.
Salah satu terduga preman yang mengintimidasi mahasiswa ketika diskusi dan persiapan demo pemakzulan Jokowi di Universitas Trilogi Jakarta. TEMPO/Istimewa
Ketua BEM Universitas Islam Jakarta Rahmatul Fajri, mengatakan mengenal di beberapa di antara mereka. Orang-orang itu bekas mahasiswa yang kerap berdemonstrasi. Namun beberapa orang lainnya berpostur tubuh besar dengan nada intimidasi. Menurut Rahmatul, para preman itu melarang mahasiswa berkonsolidasi dan berunjuk rasa.
Mereka juga melarang mahasiswa demo Presiden Joko Widodo atau Jokowi. "Kalian kalau mau demo, enggak usah berkonsolidasi pemakzulan Jokowi," tutur Rahmatul, menirukan ucapan preman yang muncul tiba-tiba di tempat rapat tersebut.
Menurut dia, konsolidasi mahasiswa ini sudah berlangsung tiga kali. Pertama dilakukan di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat. Pertemuan kedua dan ketiga berlangsung di Universitas Trilogi. Yang akhirnya, dalam pertemuan ketiga semalam, para mahasiswa digeruduk, diancam, dan mendapat kekerasan fisik.
Menurut Rahmatul, pria berbadan tegap yang mendatangi mahasiswa berjumlah lima orang. Rekan lainnya menunggu di dekat sebuah mobil sambil merokok. Malam itu, dia mengaku melihat satu mobil berwarna putih. Saat tahu rekan mahasiswa dijitak, para mahasiswa lain keluar. Mahasiswa berusaha halangi preman supaya tak masuk ke arena rapat. "Cukup di luar saja," kata dia.
Negosiasi sempat berhasil, tekanan untuk merangsek sempat menurun sebentar. "Namun mereka terus ngotot mau masuk. Mereka bilang kalau mau konsolidasi jangan bawa tema memakzulkan Jokowi."
Konsep dasar rencana mahasiswa berunjuk di awali dengan mematangkan isu dan strategi aksi. Di dalamnya mereka membahas dua isu besar. Pertama, mahasiswa menyiapkan konsep menolak pemilihan umum atau Pemilu 2024 curang. Termasuk keterlibatan Jokowi dalam pemilu.
Kedua, isu pemakzulan Jokowi. Namun untuk isu pemakzulan, kata Lamdahur, mahasiswa harus menyiapkan naskah akademik. Konsep akademik bertajuk pemakzulan akan diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab pemakzulan Jokowi merupakan ranah Parlemen. "Pak Presiden sudah melanggar dan memenuhi proses pemakzulan. Karena Pak Jokowi telah melakukan perbuatan tercela," tutur dia.
Saat adu mulut itu semakin panas, ada di antara para preman langsung mengeluarkan ponsel merekam video negosiasi itu. "Ini kan gaya-gaya aparat. Terus mengancam, suka memotong pembicaraan. Padahal dalam proses pembicaraan pun baik-baik saja," kata dia.
Namun menurut Lamdahur, pembicaraan yang dilontarkan sejumlah pria berbadan tegap, itu berusaha memancing emosional mahasiswa. Saat debat semakin alot, preman-preman itu meminta mahasiswa segera membubarkan konsolidasi tersebut. "Karena alasan ada ancaman penyerangan tadi," ucap dia.
Mahasiswa Trisakti ini menuturkan, bahwa warga di sekitar kampus tak mempermasalahkan mahasiswa rapat di situ. Bahkan sebuah bangunan berupa sekretariat karang taruna itu diizinkan warga untuk rapat konsolidasi. Bangunan itu dipinjamkan ketua RT setempat.
Rapat itu digeser keluar dari kampus karena petinggi Rektorat Trilogi tak mengizinkan rapat itu berlangsung dalam kampus. Ketua BEM Universitas Trilogi Muhammad Said Al Hariri meminta menunda wawacara dengan Tempo. "Aku ada acara konsolidasi internal, bisa habis magrib," kata Said, melalui aplikasi perpesanan, Ahad, 4 Februari 2024.
Selanjutnya, preman itu berdalih rapat mahasiswa itu harus dibubarkan karena warga setempat tak senang ada rapat di sekitar rumah warga. "Padahal kami tanya warga, enggak ada masalah. Bahkan Ketua RT-nya ada di situ," ucap Lamdahur. "Mereka bahkan mempersamai hingga jam 2 malam."
Seusai rapat itu mereka menyebarkan pesan bahwa mahasiswa mendapat intimidasi. Rekan mereka mendapatkan intimidasi dan kekerasan fisik dari preman, pembatasan, dan pengekangan diskusi. "Ruang kami berkumpul pun diancam menggunakan orang-orang sipil," ucap Presiden Mahasiswa Trisakti, itu.
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen, mengecam aksi premanisme yang dilakukan sejumlah preman kepada mahasiswa. Preman tersebut menuntut agar rapat konsolidasi segera dibubarkan karena pembahasan pemakzulan Presiden Jokowi dianggap sebagai penghasutan dan mengganggu ketertiban.
Menurut Delpedro, para preman juga menuntut mahasiswa segera mengganti judul diskusi, menghentikan rencana demonstrasi pemakzulan Presiden Jokowi, dan mengancam akan melakukan kekerasan jika rapat konsolidasi dan demonstrasi tetap dilanjutkan.
Selain melanggar kebebasan sipil seperti hak untuk berkumpul, berpendapat, dan berekspresi, terutama kebebasan akademik, kata Delpedro, intimidasi dan kekerasan itu dipandang sebagai tanda-tanda kepemimpinan Presiden Jokowi semakin terdesak. Gelombang kritik meluas dari masyarakat mengindikasikan legitimasi Jokowi semakin merosot.
"Namun pemerintah berupaya menekannya dengan menggunakan berbagai cara demi mempertahankan kekuasaannya," ucap dia. Praktik intimidasi dan kekerasan terhadap mahasiswa, akademisi, dan siapa pun yang mengkritik presiden harus dihentikan.
Dia mengatakan, praktik kekerasan tidak akan berhenti jika hanya mengandalkan aparat penegak hukum menyelidiki kasus-kasus tersebut. "Diperlukan keberanian warga yang kuat dan tanpa rasa takut untuk menentang intimidasi semacam itu," ucap Delpedro, dalam keterangan tertulis, siang ini.
Pillihan Editor: Koalisi Masyarakat Sipil Desak Polri Proses Hukum Pelaku Intimidasi di Universitas Trilogi Jakarta