TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Pengawas (Dewas) KPK menggelar sidang vonis kasus dugaan pelanggaran etik 93 pegawai KPK yang terlibat pungutan liar atau pungli di Rutan KPK.
Sidang diselenggarakan di Gedung C1 KPK, Jakarta pada Kamis, 15 Februari 2024 dipimpin oleh Ketua Dewas KPK Tumpak Panggabean. Ia didampingi dua anggota Dewas KPK, yaitu Albertino Ho dan Harjono.
Tumpak mengatakan beberapa terperiksa telah memberikan saksi ihwal praktik pungli di rutan KPK ini. Ia menjelaskan para tahanan seharusnya tidak diperkenankan membawa barang seperti handpohone ke dalam rutan. Namun, para tahanan membayar Rp5-7 juta kepada petugas lapas secara tunai atau transfer untuk memasukkan alat komunikasi itu.
Uang hasil pungli itu lalu dikumpulkan ke satu orang. “Yang ditunjuk sebagai ‘lurah’ atau orang kepercayaan,” ujar majelis sidang etik.
Oleh ‘lurah’ uang tersebut dibagikan ke masing-masing pegawai KPK yang terlibat pungli di tiap cabang rutan KPK.
Sebelumnya, Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meminta keterangan 191 orang soal dugaan pungutan liar atau pungli di rumah tahanan KPK. Ratusan orang yang dimintai keterangan ini terdiri atas 45 orang mantan tahanan atau narapidana kasus korupsi, penjaga rutan, dan pihak lainnya.
Kepala Bagian Pemberitaaan KPK Ali Fikri mengatakan dugaan tindak pidana pemerasan atau pungli ini terjadi sudah cukup lama, yaitu pada 2016-2017. Namun, belum terstruktur. Menurut dia, kejahatan ini mulai terstruktur pada akhir 2018 dan/atau 2019.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya istilah 'Lurah' dan kordinator di masing-masing rutan. "Setidaknya ada tiga rutan cabang itu yang kemudian ada dugaan pemerasan terhadap para tahanan yang diduga oleh oknum sipir atau penjaga," katanya.
Dalam penangani kasus dugaan pungli ini, KPK melibatkan Dewan Pengawas KPK; Kedeputian Penindakan KPK dalam proses penyelidikan; dan Inspektorat KPK yang berjalan pararel. Bahkan sudah dikoordinasikan, baik dengan PPATK, Kementerian Hukum dan HAM.
Pilihan Editor: Jokowi Menang dalam Gugatan di PTUN, Otto Hasibuan: Politik Dinasti tidak Terbukti