TEMPO.CO, Jakarta - Keluhan Achmad Muchlis tentang beban kerja tak pernah digubris saat ferienjob di Jerman yang berkedok magang mahasiswa. Pekerjaan mengangkut paket bir dan wine seberat 35 kilogram merupakan pengalaman baru dalam hidupnya. Dia menghadapi pekerjaan ini saat mengikuti ferienjob di Jerman sepanjang Oktober-Desember 2023.
Kisah Achmad Muchlis—bukan nama sebenarnya—bermula sejak tiba di Frankfurt, Jerman, pada Selasa pagi, 3 Oktober 2023. Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu bahkan belum diberitahu ia ditempatkan di pekerjaan apa. "Sampai di sana belum ada omongan kerjanya di mana dan segala macam," kata dia kepada Tempo melalui sambungan telepon, Kamis malam, 28 Maret 2024.
Dua jam menunggu di Bandar Udara Internasional Frankfurt, tiba-tiba ia dimasukan di sebuah grup WhatsApp. Tak lama dari situ, Achmad dan teman-temannya dibelikan tiket kereta cepat untuk keberangkatan dari bandara ke Hamburg. Dia sempat bertanya biaya tiket itu dibayar sendiri atau dibayarkan sebagai bentuk servis.
Namun pihak RunTime—agensi penyalur kerja di Jerman—tak menggubris pertanyaan Muchlis. "Ternyata biaya kereta ini dibebankan ke saya melalui potongan di gaji kedua di Desember," tutur dia. Perjalanan menggunakan kereta itu bertujuan menuju lokasi apartemen, sekaligus wilayah tempat kerja Muchlis.
Tiba di sebuah stasiun terkahir, dia dan seorang peserta ferienjob dijemput satu pria bernama Nico. Laki-laki ini merupakan pegawai di RunTime. Nico membawa kedua orang ini ke sebuah apartemen. Tiba di tempat inap ini, Muchlis dan rekannya diminta menunggu. "Kami menunggu selama dua jam di ruangan yang berantakan," ujar mahasiswa 21 tahun itu.
Belum ada penjelasan kontrak dan RunTime hari itu. Penandatanganan kontrak baru berlangsung keesokan harinya. Alasan RunTime, pembicaraan kontrak akan dilakukan sambil menunggu mahasiswa ferienjob lainnya yang baru tiba di 4 Oktober 2023. Malamnya, kegiatan Muchlis dilanjutkan dengan pembahasan kontrak dan penunjukan tempat kerja.
Muchlis bercerita, penjelasan mengenai kontrak dalam bahasa Jerman itu dibacakan secara terburu-terburu. "Dalam kontrak itu ada perjanjian antara mahasiswa dan RunTime; perjanjian mahasiswa dengan Dalsey, Hillblom and Lynn International (DHL)," tutur dia.
Dalsey, Hillblom and Lynn International GmbH—perusahaan logistik yang terletak di Rungedamm 37A, 21035 Hamburg, yang menjadi tempat kerja Muchlis. Putra sulung dari tiga bersaudara itu ditugaskan sebagai asisten gudang DHL.
Dia bercerita, ada yang janggal dalam pembacaan kontrak yang diwakili seorang pria dari RunTime. Pembacaan perjanjian kontrak itu pun dilakukan tergesa-gesa. "Misalnya mereka baca satu halaman, terus mereka bilang, 'Sudah paham belum? Langsung tanda tangan, ya. Kita tidak punya banyak waktu'. Disuruh cepat-cepat mengikuti waktu mereka," kata dia. Kejanggalan baru terlihat saat mereka menerima gaji.
Dia menjelaskan, dari slip gaji ada tercantum biaya tempat tinggal 11,5 Euro. Biaya itu pun tak dijelaskan dengan rinci. "Maksud 11,5 Euro ini mencakup apa saja, tidak dijelaskan," ujar dia. Juga peserta ferienjob diminta membayar deposit sebesar 200 Euro. Pemotongan semua biaya itu, dia berujar, tak dijelaskan rinci oleh RunTime.
Menurut Muchlis, pemberian gaji dihitung berdasarkan jam kerja, lembur, dan bonus. Setiap mahasiswa akan mendapatkan gaji berbeda-beda. Juga tak tertulis pasti berapa duit harus dibayarkan kepada setiap mehasiswa ferienjob per satu bulan kerja. Misalnya dari pengalaman Muchlis, mereka bekerja 8 jam hingga 10 jam.
Namun yang tercatat dalam slip gaji yang dikeluarkan RunTime, mereka hanya bekerja 9,75 jam, 9,65 jam, bahkan 7,45 jam. Atau pekerjaan mereka tertulis di luar itu. "Ketika ditanyakan pun tak ada jawaban dari RunTime," katanya. "Mereka bilang nanti dikonfirmasi lagi ke DHL. Tapi apakah pembayarannya ada? Enggak jelas."
Saat peserta ferienjob meminta penjelasan detail biaya tersebut, pihak RunTime menjawab, "Pokoknya nanti dipotong dari gaji," kata menirukan jawaban pihak RunTime. Bahkan saat menerima upah kerja, tak ada penjelasan tertulis adanya pemotongan upah kerja. Kasus ini terjadi ketika mereka menerima gaji Oktober, yang diberikan pada November. "Bayaran-bayaran yang tertanggung dari gaji ini."
Dia bercerita, gaji pertama dari perusahaan logistik itu hanya sekitar 1.700 Euro atau sekitar Rp 29.075.667. "Sementara dijanjikan saat sosialisasi di kampus, gajinya lebih dari 2.000 Euro," tutur dia. Pada penerimaan upah kedua, tiba-tiba ada pemotongan yang terhitung besar, di antaranya biaya kereta dari bandara ke Frankfurt, sehingga yang diterima cuma 900.16 Euro atau Rp 15.377.490,00.
Dari biaya kereta itu, kata dia, RunTime memotong biaya sebesar 148 Euro. Sementara biaya tiket kereta cepat itu cuma 114 Euro. Tiga kali Muchlis mengontak orang RunTime meminta penjelasan tersebut. "Kok pemotongan lebih besar dari aku bayarkan?" kata dia kepada pihak RunTime. Namun jawaban yang ia terima ada kesalahan hitungan.
Menurut dia, setelah tiga kali protes biaya pemotongan itu, RunTime mengembalikan sisanya pada gaji Desember. "Tapi enggak kebayang kalau aku enggak protes hal ini," ujarnya. Kasus lain, terjadi pemotongan sebesar 15,24 Euro. Pemangkasan upah ini tak pernah dijelaskan alasan duitnya disunat.
Berikutnya, Muchlis mengatakan bingung saat tiba di gudang DHL. Mereka tak tahu apa pekerjaan mahasiswa magang. Pertanyaan mereka ke DHL maupun RunTime tak pernah dijawab. "Saling lempar antara RunTime dan DHL. RunTime sendiri tak tahu apa yang akan kami kerjakan," tutur dia. Saat itulah mereka mulai bekerja angkat paket, bawa troli, hingga mengangkut piringan tempat paket.
Muchlis bercerita, paket yang diangkat itu bebannya seberat 0,5-35 kilogram. Paket itu berupa makanan, minuman, alat kesehatan, dan lainnya. Paket diturunkan dari mobil boks, lalu diantar ke mesin conveyor supaya digiring ke dalam gudang. Muchlis merasa pekerjaan itu paling berat.
Menurut dia, pekerjaan untuk peserta ferienjob juga tak teratur. Berbeda dengan karyawan yang setiap orang mendapatkan pembagian jatah kerja. Sehingga pekerjaan mahasiswa ferienjob ini menjadi tak teratur sesuai jatah kerja. "Sehingga saya dan teman-teman setiap malam kena bentak," tutur dia, mengenang.
Pada saat mengadu ke DHL dan RunTime, Muchlis mendapat pembagian jatah kerja menurunkan barang dari truk boks. Beban itu tak berkurang. Setiap malam ia bekerja menurunkan paket dari tiga sampai lima mobil boks. Dampaknya, jari kelingkingnya bengkak, hingga darah keluar dari hidung. Beban kerja itu membuat seorang rekannya ingin lari karena tak mampu bekerja.
Teman Muchlis itu memutuskan membawa pulang satu paketan ke apartemen. "Alasannya supaya ketahuan, biar dipecat. Tapi enggak dipecat," tutur Rahmat. Dalam cerita lain, ketika mereka terus dibentak, RunTime tak pernah menggubris termasuk peserta magang mendapatkan sindiran rasis.
Menurut dia, dalam kontrak kerja, tertulis bahwa yang mengalami kekerasan verbal dan nonverbal dilaporkan ke RunTime. Muclish melaporkan pernyataan rasis tersebut ke RunTime. Namun laporan itu tak direspons. Mereka cuma membaca pesan WhatsApp-nya.
Seorang sopir di gudang menyindir Muchlis saat diketahui masih bingung dalam tugas kerja. "Apa semua orang Asia bekerja selambat ini?" kata mahasiswa ferienjob itu menirukan ucapan sopir truk DHL tersebut. Ucapan itu disampaikan dalam bahasa Jerman. Muchlis hanya tersenyum. "Omongan dia itu panjang. Tapi beberapa poin saya tangkap seperti itu."
Pilihan Editor: Ribuan Mahasiswa jadi Korban TPPO Berkedok Magang Ferienjob Jerman, Pakar: Kampus Tak Hati-Hati