TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung saat ini tengah mengusut dugaan korupsi tata kelola sawit di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung telah menggeledah Kantor KLHK di Gedung Manggala, Kamis, 3 Oktober 2024.
Sumber Tempo menyebutkan, pengusutan dugaan korupsi ini berdasarkan laporan dari perusahaan sawit yang sedang melakukan proses pemutihan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 110A UU Cipta Kerja.
Pasal 110A UU Ciptaker mengatur perusahaan yang memiliki izin usaha sebelum UU Cipta Kerja disahkan diberi keringanan untuk diputihkan atau dilegalkan asalkan menyelesaikan persayaratan sebelum November 2023. Jika tidak memenuhinya sampai batas waktu yang ditentukan, maka mereka akan dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif itu berupa pencabutan izin atau denda.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar membenarkan informasi yang diperoleh Tempo tersebut. Namun, ia menyebut laporan perusahaan itu sebagai laporan masyarakat.
"Iya dari laporan masyarakat, bahwa laporan masyarakat itu siapa saya nggak tahu," ujar Harli Siregar saat ditemui Tempo di kantornya, Selasa 15 Oktober 2024.
"Laporan perusahaan kan bagian dari laporan masyarakat, semua kami katagorikan laporan masyarakat," ujarnya.
Masih menurut sumber Tempo, laporan dari perusahaan itu masuk ke Kejaksaan pada pekan keempat September 2024. Namun ia menerangkan, jauh sebelum laporan itu masuk, dugaan korupsi itu telah diketahui Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara. Kejaksaan adalah bagian dari tim tersebut.
Ia mengatakan sebagian besar perusahaan yang sedang berproses melakukan pemutihan di KLHK juga mengalami hal yang sama. Hanya saja yang melakukan pelaporan ke Kejaksaan baru satu perusahaan. "Hanya yang melapor secara resmi, satu," ujar Sumber tersebut, Kamis, 17 Oktober.
Sementara itu Harli mengatakan, terkait penggeledahan di KLHK, surat perintah penyidikan (Sprindik) dikeluarkan pada Oktober. "Bulan ini, Sprindiknya, " ujar Harli. Sebagai informasi kasus dugaan karupsi tata kelola sawit yang sedang diusut oleh KLHK tempus atau waktunya mencakup 2005-2024.
Artinya kasus ini juga ada sebelum adanya Ciptakerja. Namun tidak menutup kemungkinan ada persinggungan. "Bisa berkorelasi bisa tidak," ujar Harli yang belum bisa menjelaskan lebih detail apakah kasus itu terkait wewenang KLHK Pasal 110A dan Pasal 110B UU Ciptaker.
Namun perihal wewenang KLHK di tata kelola sawit, adalah sanksi administratif termasuk didalamnya denda adminsitratif dan pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lain yang harusnya dibayarkan oleh perusahaan yang kedapatan menanam sawit di kawasan hutan.
Pada pekan yang sama saat kasus penggeledahan di KLHK disorot, info adanya kebocoran anggaran negara dari tata kelola sawit terkait sanksi admisnitratif yang diatur di Pasal 110A dan Pasal 110 B mencuat. Total ada anggaran Rp 300 triliun yang bocor dari ketentuan pasal tersebut. Data itu merupakan audit yang dipunya oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh menjelaskan kebocoran uang negara Rp 300 triliun merupakan hasil akumulatif hitungan denda perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan hutan dan adanya selisih pembayaran denda. "Tapi kebanyakan 110B," ujar Ateh, Selasa, 15 Oktober 2024.
Yang dimaksud adalah pasal 110B UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasal 110B intinya memberi kesempatan bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan untuk mengurus perizinan paling lambat tiga tahun sejak UU 6/2023 berlaku. Sanksi yang melanggar ketentuan tersebut berupa hukuman administratif.
Pilihan Editor: Berikut Asal Mula Hitungan BPKP soal Kebocoran Uang Negara Rp 300 Triliun dari Sawit