TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memeriksa Direktur Utama PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry periode 2018-2024, Ira Puspadewi. KPK telah menetapkan Ira sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proses kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Indonesia Ferry tahun 2019-2022.
Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyampaikan Ira kembali dipanggil sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi tersebut. “Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK Merah Putih, Jakarta,” kata Tessa melalui pesan singkat pada Rabu, 30 Oktober 2024.
KPK sebelumnya telah memeriksa Ira pada 24 Oktober lalu. Selain Ira, KPK juga memanggil Lead Inspector PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), Ardhian Budi sebagai saksi. PT BKI adalah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) yang memiliki wewenang untuk mengklasifikasi kapal niaga berbendera Indonesia.
Selain Ira Puspadewi, KPK sebelumnya juga menetapkan tiga tersangka lainnya. Mereka adalah: Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono; Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP, selaku Direktur Perencanaan dan Pengembangan ASDP, Yusuf Hadi; dan Pemilik PT Jembatan Nusantara, Adjie.
KPK membuka penyidikan kasus dugaan korupsi ini sejak 11 Juli 2024. Berdasarkan penelusuran KPK, akuisisi PT Jembatan Nusantara yang dilakukan PT ASDP Indonesia Ferry merugikan negara hingga Rp 1,27 triliun.
Dalam akuisisi itu, PT ASDP Indonesia Ferry mengambil alih 53 kapal yang dikelola PT Jembatan Nusantara. KPK menilai akuisisi itu bermasalah kapal-kapal milik PT Jembatan Nusantara tidak sesuai dengan spesifikasi pengadaan dan tergolong tua.
Ira Puspadewi sempat mengajukan gugatan praperadilan terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka. Gugatan itu dia ajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Akan tetapi gugatan Ira tersebut kandas.
Humas PN Jakarta Selatan, Djuyamto, mengatakan, hakim tunggal yang mengadili perkara tersebut, berpendapat materi gugatan yang diajukan Ira Puspadewi tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil (Niet Ontvankelijke Verklaard). KPK pun akhirnya meneruskan pengusutan perkara ini. "Bukan ditolak, tapi tidak dapat diterima," kata Djuyamto dikonfirmasi Tempo, Rabu, 25 September 2024.
Ade Ridwan Yandwiputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.