TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai dugaan pelanggaran etik Rudy Soik sebaiknya diambil oleh kepolisian pusat. Menurutnya, asumsi publik akan semakin liar jika Polri berdiam diri. "Penjelasan dari salah satu pihak yang bermasalah tentu sangat bias kepentingan," ucap Bambang kepada Tempo, Jumat, 1 November 2024.
Menurut Bambang, Mabes Polri memiliki wewenang untuk mengambil alih kasus tersebut. Mabes Polri, kata dia, mempunyai fungsi pengawasan yang harus dijalankan pada semua Polda. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 7 tahun 2022. "Personel memiliki hak melaporkan pada atasan dari pimpinan yang sedang berkonflik, dan memberikan peluang untuk mengajukan banding pada Kapolri bila keputusan disiplin dan etik dirasa tidak adil bagi personel," ucapnya.
Selain itu, Bambang menilai, adanya dua keterangan yang berbeda akan mengganggu objektifitas penilaian. Polda NTT sebagai pihak yang berseberangan dengan Ipda Rudy Soik akan dilihat dominan dan membela kepentingannya, sementara Rudy sebagai personal tentu dipandang sebagai pihak yang lemah. "Harus ada pihak ketiga yg lebih netral, untuk menjaga obyektifitas. Kompolnas maupun Komisi III DPR Ri bisa turun untuk melakukan penyelidikan dan penuntasan kasus tersebut," tutur Pengamat Kepolisian tersebut.
Pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) Rudy Soik menjadi sorotan publik lantaran ia dipecat usai membongkar kasus dugaan penimbunan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di Kupang. Dalam penyelidikannya, Rudy menduga ada keterlibatan petinggi Polda NTT dalam mafia BBM ini.
Sementara itu, Menurut Kapolda NTT, Irjen Daniel Tahi Silitonga, Rudy Soik diberhentikan karena melanggar 5 kode etik dalam satu tahun berturut-turut. Salah satu pelanggaran tersebut adalah Rudy disebut tidak profesional menjalankan prosedur pemasangan police line di tempat Ahmad Anshar. Rudy bersalah karena memasang police line sebelum jelas terbukti bahwa di situ ada tindak pidana. Tidak terima dengan putusan tersebut, Rudy saat ini tengah mengajukan banding.
Dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR pada senin lalu, Sidang Banding Rudy masih diserahkan kepada oleh Polda NTT. Daniel menyatakan akan menunjuk siapa saja hakim yang mengisi Komisi Kode Etik Polisi (KKEP) untuk meninjau ulang putusan PTDH Rudy dalam 30 hari ke depan. Selanjutnya, hakim tersebut memiliki waktu 30 hari juga untuk memutuskan apakah Rudy akan diberhentikan atau tidak.
Daniel mengatakan salah satu kandidat hakim KKEP tersebut adalah Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda NTT Komisaris Besar Robert Robert A. Sormin, yang sebelumnya menjadi ketua dalam sidang yang memutus PTDH terhadap Rudy Soik. “Ya makanya, apakah ada yang lain? Hanya punya dua kabid propam saya. Satu yang itu,” ujarnya usai rapat di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta Selatan pada Senin, 28 Oktober 2024.