TEMPO.CO, Jakarta - PT Kereta Api (Persero) mempersilakan bagi siapa saja yang ingin mengungkapkan pendapatnya mengenai kebijakan yang dibuat perusahaan selama ini. Kebijakan itu antara lain penertiban kios di stasiun, penghapusan KRL ekonomi, dan bentuk pelayanan penumpang lainnya.
"Silakan saja. Kami punya lembaga keterbukaan informasi publik. Ke situ saja langsung," kata Vice President Public Relations PT Kereta Api, Mateta RIjalulhaq, kepada Tempo, Ahad, 12 Mei 2013.
LBH Jakarta menjadi salah satu lembaga yang meminta keterbukaan informasi publik ke perusahaan kereta api di Indonesia itu. Menurut Mateta, selama ini perusahaan sudah sangat terbuka ke masyarakat, asalkan keinginan yang diajukan warga dapat dibicarakan terlebih dulu. "Seperti di Stasiun Gondangdia, sekarang sedang proses. Jadi apa yang belum cukup?" katanya.
Ia mengatakan, seharusnya masyarakat tidak melihat kebijakan yang dibuat PT Kereta Api hanya sepenggal saja. Selain untuk menuju 1,2 juta penumpang per hari pada 2018, menurutnya, ini juga untuk menyelesaikan pekerjaan rumah seperti yang tertuang di Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2011. "Dalam peraturan itu, kami harus segera menyelesaikan jalur kereta api bandar udara. Itu kan diburu waktu," kata Mateta.
Selain itu, kebijakan yang dipilih untuk mendukung kebijakan lainnya seperti program e-ticketing dan penerapan tiket yang lebih sesuai dengan jarak yang ditempuhnya.
Ia menjelaskan, sistem e-ticketing membutuhkan prasarana dan sarana yang mumpuni. Untuk itu, perusahaan ingin membenahi dulu sarana yang saat ini ada. Mengenai penerapan tiket yang lebih terbuka, katanya, nantinya tiket akan diterapkan sesuai dengan jarak yang ditempuh penumpang.
Saat ini, harga diberikan merata bagi penumpang yang ingin pergi dengan jarak dekat maupun jauh. Tapi nantinya, tiket akan disesuaikan dengan jarak tempuh. "Lima stasiun pertama akan diberi tarif Rp 3000, tiga stasiun kemudian tambah Rp 1000. Begitu seterusnya," katanya.
Ini, menurutnya, untuk menuju kereta api sebagai transportasi yang murah dan terjangkau. Jika memang banyak warga yang masih tidak puas dengan pelayanan PT Kereta Api, ia meminta segera dimusyawarahkan. "Kalau enggak bisa juga, langsung ke pengadilan. Intinya, kami enggak bisa harus melayani semuanya saat sedang diburu waktu begini," ujarnya.
SUTJI DECILYA