TEMPO.CO, Jakarta - Seorang bocah bernama Aprilia Ayu Pratama, 5 tahun, yang menderita kanker kesulitan mendapat pelayanan pengobatan dari rumah sakit. Alasannya, ruang untuk merawat bocah itu tidak ada karena sudah terisi semua. "Kondisinya sudah sangat payah, tapi rumah sakit mempermasalahkan ketersediaan ruangan, jadi pasien ditolak," kata Bernard Hasiholan, aktivis BPJS Watch yang menjadi relawan pendamping Aprilia, Selasa, 30 September 2014.
Aprilia adalah putri pasangan Jamra dan Rahma, warga Cakung, Jakarta Timur. Bocah itu menderita kanker di pelipis kirinya sejak setahun terakhir. Kini, benjolan tersebut semakin membesar. Namun Aprilia tak bisa segera mendapat perawatan.
Untuk mengobati Aprilia, orang tua sudah membawa bocah itu ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Kanker Dharmais, dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Namun tiga rumah sakit itu menolak dengan alasan tidak ada kamar kosong. "Kenapa syarat mutlaknya harus ruangan dulu baru prosedur? Padahal anaknya sudah menjerit kesakitan," ujar Bernard.
Satu setengah tahun yang lalu, Aprilia jatuh di kamar mandi di rumahnya. Pelipis kirinya bocor. Saat itu ia mendapat perawatan di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Seluruh biaya perawatan ditanggung pemerintah karena Aprilia sudah memiliki Kartu Jakarta Sehat yang sekaligus menjadi anggota Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan nomor 0001216679051.
Seminggu kemudian, Aprilia kembali ke rumah sakit yang sama karena bekas lukanya bengkak dan muncul benjolan. Aprilia kemudian menjalani operasi pengangkatan benjolan itu. Namun operasi pertama tidak serta merta bisa mengankat seluruh benjolan.
Dokter menyarankan melakukan operasi kedua. "Operasi kedua juga gagal. Ternyata benjolan di lukanya makin besar," tutur Bernard.
Khawatir kondisi anaknya memburuk, Jamra membawa putrinya ke RS RSCM. "Dia sudah langsung pikir itu tumor atau kanker," kata Bernard. Di RSCM, petugas mengambil sampel darah APP. "Dokter bilang harus dikemoterapi, tapi tak ada penanganan lebih lanjut," ujar Bernard.
Dari situ, Bernard segera menanyakan prosedur ini kepada tim BPJS Center di RSCM. Saat itu, relawan tim BPJS Watch langsung menghubungi BPJS pusat. "Saat itu kami disuruh stay karena dijanjikan ruangan. Saya juga keliling sendiri cari ruangan kosong, tapi memang tidak ada yang kosong."
Orang tua Aprilia akhirnya memutuskan menjalani rawat jalan. Dalam proses itu, dokter memberi Aprilia obat pereda nyeri. Bocah itu kemudian dijadwalkan menjalani kemoterapi pada 26 September 2014 dengan nomor urut 2.
Sehari sebelum menjalani kemoterapi, orang tua Aprilia mengetahui ternyata nomor antrean berubah dari 2 jadi 19. "Akhirnya, kami putuskan untuk menunggu di depan UGD di rumah sakit," ujar Bernard. Namun, pada hari yang ditentukan, Aprilia ternyata tak jua mendapat giliran kemoterapi.
Karena tidak ada kejelasan, sehari kemudian, orang tua Aprilia membawa bocah itu ke RS Dharmais. Di sana, mereka ditolak oleh petugas rumah sakit dengan alasan tidak ada kamar kosong. Layanan kemoterapi juga harus dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
Selanjutnya, Aprilia dibawa ke RSPAD agar bisa segera di kemoterapi. Lagi-lagi, mereka mendapat penolakan dengan alasan yang sama. "Keluarga putus asa. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pulang," tutur Bernard.
Selama dioper-oper, Bernard melihat Aprilia sering menangis histeris karena kesakitan. "Enggak kuat sakitnya, pecahin saja kepalanya," kata Bernard menirukan jeritan Aprilia. Bocah malang itu kadang memegang benjolan di kepalanya sampai keluar nanah lewat telinganya.
Tim BPJS Watch berencana meminta bantuan ke Komnas Anak dan menyurati Gubernur DKI Jakarta agar Aprilia bisa segera mendapat perawatan. "Seharusnya, BPJS punya inovasi dan jejaring informasi ruangan di seluruh rumah sakit," kata koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar.
PUTRI ADITYOWATI
Berita lain:
Koalisi Merah Putih Targetkan Revisi UU KPK
Nurhayati: Walk-Out Demokrat Inisiatif Saya
Kejutan, Maria Londa Rebut Emas Asian Games
MK Tolak Gugatan Uji Materi UU MD3