Dengan syarat mau merawat dan membayar biaya ganti persalinan sebesar Rp 7 juta, Ngkus dan suaminya pun bersedia melakukan adopsi. Berhubung uang simpanan yang dimiliki Ngkus hanya Rp 2 juta, maka pelunasan penggantian persalinan akan dibicarakan lebih lanjut setelahnya. Ngkus pun kemudian meminta surat dari rumah sakit dan bertanya tentang syarat-syarat adopsi. "Kata kak Neti, sih, surat pernyataan bermeterai dari ibu kandung sudah cukup," ujarnya.
Sore hari menjelang maghrib sekitar pukul 18.00, Ngkus tiba di rumah Neti. Di sana sudah ada sang bayi beserta surat-suratnya dan Ngkus pun menitipkan uang Rp 2 juta kepada Neti karena ibu sang bayi sedang pergi mengambil perlengkapan saat itu. Kemdian Neti menyarankan Ngkus memeriksa kondisi bayi ke bidan. Setelah itu, Ngkus bersama bayi yang saat itu terus menangis dan terlihat kumal itu pulang dan mencari bidan untuk diperiksakan.
Sayangnya hari sudah larut dan Ngkus disarankan kembali keesokan harinya. Esok sore pukul 16.00, Ngkus membawa bayi yang belum diberi nama itu ke bidan, setelah sebelumnya ia membawa bayi itu tukang pijat. "Sudah tradisi keluarga kalau bayi harus dipijat biar lentur. Saya juga sudah beli susu sampai satu dus," katanya.
Sekiar pukul 17.00 rumah Ngkus dan Haryoni didatangi Neti dan dua orang polisi berpakaian seperi preman. Saat itu Ngkus sedang pergi ke bidan bersama sang bayi dan ditemani kakaknya. Haryono yang saat itu di rumah pun menyambut polisi dan kakak sepupunya. Neti yang seorang istri polisi pun membuat Haryono tidak curiga dengan kedatangan dua polisi tersebut.
"Saya pikir mereka ingin melihat bayi yang saya adopsi. Saya nggak mikir macem-macem soalnya saya kira mereka teman Kak Neti. Lalu saya disuruh jemput istri dan bayi dari bidan," ucap Haryono kepada Tempo di rumahnya.