Pertimbangan lainnya adalah pusat perbelanjaan tak termasuk ke dalam kategori lokasi yang areanya mutlak bebas dari asap rokok seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah. Pasal 18 pada Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2010 menyatakan pusat perbelanjaan dapat memiliki tempat khusus merokok yang terpisah secara fisik dan terletak di luar gedung.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Ellen Hidayat mengapresiasi kelonggaran yang diberikan Basuki itu. Ia berujar mayoritas anggota asosiasi mengeluhkan banyaknya penyewa gerai, terutama restoran dengan konsep outdoor, yang hengkang dari mal.
Setelah ada petisi yang meminta tak ada asap rokok di mal yang digagas seorang ibu, Elysabeth Ongkojoyo, pada Agustus lus pengelola serentak melarang pengunjung merokok di semua area mal.
Petisi yang dirilis akhir Agustus lalu itu bermula saat Elysabeth diminta berpindah tempat duduk karena ada pengunjung lain yang ingin merokok di dekatnya. Sejak adanya larangan itu, omset pengusaha restoran menurun 30-40 persen.
Alhasil, menurut Ellen, pengusaha restoran lebih memilih ruko menjadi tempat usaha lantaran tak tergolong Kawasan Dilarang Merokok. Di ruko, mereka bisa menerapkan konsep alfresco dining atau makan di luar tanpa larangan merokok. “Terjadi persaingan bisnis yang tidak sehat,” kata dia.
Terlebih, Ellen berujar, pengelola mal juga berulang kali menerima surat peringatan dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah tentang pelanggaran merokok. “Padahal temuannya hanya satu puntung rokok,” ucap Ellen.
Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Junaedi menuturkan instansinya juga mewajibkan pengelola membentuk Satuan Tugas Anti-Rokok. Pengelola juga wajib menyediakan kotak pengaduan.
Junaedi mengklaim tingkat kepatuhan pengelola tergolong baik. Sebab, ancaman penundaan pembentukan Satgas Anti-Rokok hingga surat peringatan ketiga terbit adalah pengumuman di media massa. “Belum ada yang melanggar hingga tahap ketiga, mereka juga takut malnya tak dikunjungi orang,” ujarnya.
LINDA HAIRANI