Barang bukti berupa dua gram ganja, alat isap sabu, dua plastik bekas penyimpanan sabu, dan tiga senjata tajam jenis parang dan pedang samurai ditemukan saat Badan Narkotika Nasional (BNN) menggeledah kampus Universitas Kristen Indonesia Cawang, Jakarta, 18 Desember 2014. Tidak banyak narkoba yang ditemukan dalam penggeledahan ini. TEMPO/Afrilia Suryanis
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Pembaruan Kebijakan Napza meminta agar pemerintah kembali menelaah kebijakan terkait dengan narkotika. Sebab, mereka menilai kebijakan saat ini tidak ideal dalam mengatasi penyalahgunaan narkotika. (Baca: Pemerintah Kesulitan Tangani Pecandu Narkotika)
"Kami merekomendasikan agar negara mengambil alih kendali peredaran napza," kata anggota Koalisi, Yvonne Sibuea, Selasa, 23 Desember 2014. Menurut dia, negara perlu turut campur untuk mengatur peredaran napza agar napza itu tak disalahgunakan. "Seperti halnya rokok."
Menurut dia, sejak dulu orang-orang di Indonesia punya kebutuhan terhadap napza. "Baik untuk masakan atau untuk medis," kata dia.
Kemudian, penggunaan napza dilarang total oleh pemerintah. Kebutuhan tersebut pun membuat prinsip ekonomi bekerja. "Kalau kebutuhan tidak ditemukan di pasar legal, maka akan dicari pasar ilegal." (Baca: Langkah Pertama Jika Ada Korban Over Dosis Narkoba)
Yvonne berpendapat hal itu yang membuat penyalahgunaan napza marak di Indonesia. Jika negara yang mengaturnya, menurut dia, tidak akan ada peredaran narkotika melalui pasar gelap.
"Semua orang bisa diatur. Anak-anak pun tidak akan memperoleh napza kalau diatur," ujarnya.
Selain itu, menurut dia, peraturan di Indonesia soal narkotika pun tidak ideal. "Semua pengguna narkotika harus direhabilitasi," kata Yvonne. Padahal, yang seharusnya direhabilitasi adalah pengguna yang sudah ketergantungan. (Baca: Jumlah Pengguna Narkotika Suntik di Surabaya Turun)
"Jadi ada pengguna sekali dua kali yang dipaksa ikut rehabilitasi."
Yvonne menilai hal tersebut tidak akan serta-merta membuat pengguna berhenti menggunakan narkotika.