TEMPO.CO, Bekasi - Ketua Dewan Pakar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Bagong Sutoyo mengatakan solusi untuk mengatasi kisruh sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang ialah duduk bersama. "Karena ada pemahaman yang tumpang-tindih," katanya, Jumat, 13 November 2015.
Menurut dia, pihak yang harus duduk bersama adalah pengelola TPST Bantargebang, DKI Jakarta, dan Kota Bekasi. Dalam pertemuan itu, harus dipilah kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam klausul perjanjian kerja sama.
Ada dua perjanjian yang berbeda, yaitu antara Kota Bekasi dan Jakarta serta antara Jakarta dan perusahaan pengelola TPST Bantargebang.
Akibat tumpang-tindih pemahaman perjanjian kerja sama ini, masyarakat di sekitar TPST Bantargebang menjadi korban. Paling mendasar ialah tak ada buffer zone yang mengelilingi tempat pembuangan milik DKI Jakarta. "Jadi ada pemisah, antara TPST dan permukiman warga," ucapnya.
Ia menjelaskan, buffer zone minimal selebar 5 meter mengelilingi TPST Bantargebang. Tanaman buffer zone disarankan yang dapat tumbuh besar karena bisa menyerap udara dari sampah, sehingga masyarakat yang bermukim di sekitar tak terkena dampak bau sampah.
Baca Juga:
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, perjanjian kerja sama peningkatan pemanfaatan lahan TPST Bantargebang dibuat pada 2009, yang ditandatangi Wali Kota Bekasi pada saat itu, Mochtar Muhammad, dan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Dalam klausul tersebut, ada 13 kewajiban pihak DKI Jakarta.
Adapun perjanjian tambahan atau adendum dibuat pada 2013, yang diteken Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo.
ADI WARSONO