Begini Seorang Pemilik Lahan Proyek MRT Fatmawati Tolak Menyerah
Reporter
Zara Amelia
Editor
Dwi Arjanto
Selasa, 24 Oktober 2017 06:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Heriyantomo, pemilik toko Gramer Mandiri di lokasi area pembangunan proyek stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Fatmawati, tampak duduk termenung meratapi nasib tokonya yang sepi pembeli.
Berlokasi di kawasan Jalan Haji Nawi, Jakarta Selatan, toko Heri adalah satu dari empat toko yang menjadi sengketa di area proyek stasiun MRT itu. Dia dipaksa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjual tokonya yang disebut sebagai penghambat proses pembangunan.
Heri bersama dua pemilik toko lainnya kemudian menggugat Pemprov DKI Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Februari 2016 dengan alasan nilai ganti rugi yang tak sesuai.
Baca : Cerita Perlawanan Pemilik Lahan Proyek MRT Fatmawati
Saat itu, melalui tim appraisalnya, Pemprov DKI Jakarta menaksir nilai keempat toko seharga Rp 33 juta per meter per segi. Padahal, menurut perhitungan Heri dan dua pemilik toko lainnya, seharusnya lahan mereka bernilai Rp 150 juta per meter per segi. “Kami hitung Rp 50 juta itu harga tanah, sedangkan Rp 100 juta itu biaya kerugian lain-lainnya,” tutur Heri di tokonya pada Senin, 23 Oktober 2017.
Pihak Heri menganggap Pemrov DKI Jakarta menyalahi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Menurut dia, pembebasan lahan tidak memperhitungkan dampak lainnya, seperti kerugian ekonomi, solatium, premium, dan lainnya.
Pengadilan Negeri Jaksel kemudian memutuskan nilai asset mereka seharga Rp 60 juta per meter persegi. Namun, putusan itu dikasasi oleh Pemprov DKI Jakarta. Kini, kedua pihak tengah menunggu putusan Mahkamah Agung terkait nilai akhir tersebut.
Baca Juga: Pidato Anies Baswedan, Kata Pribumi Sarat Kontroversi
Keputusan Heri berbeda dengan pemilik toko terdampak lainnya, Mahesh Laimalani. Mahesh telah menyerahkan lahannya kepada Pemprov DKI Jakarta sebelum keluarnya putusan MA. Sedangkan, Heri memilih tetap berjuang mempertahankan lahan seluas 128 meter per segi miliknya. “Gubernur DKI Jakarta harus taat hukum. Tunggu putusan MA sebelum eksekusi lahan kami,” kata Heri.
Heri telah meniti usahanya itu sejak 1984. Namun, sejak pembangunan proyek Stasiun MRT Haji Nawi mulai empat tahun silam, Toko Gramer Mandiri merugi. Pembeli ogah mampir ke tokonya karena pembangunan itu. Apalagi, ada himbauan dari pemerintah kepada pengguna jalan untuk tidak melewati jalan depan tokonya itu demi menghindari macet. Akibatnya, Heri harus memangkas 26 pegawainya menjadi tiga orang. “Sejak ada tulisan (himbauan jalan) itu, ekonomi toko perlahan-lahan drop,” ujarnya.
Simak : Strategi Jitu Anies-Sandi Rayu Pemilik Lahan Proyek MRT Fatmawati
Kini, pembeli Toko Gramer Mandiri hanya tersisa hitungan jari. Tiap minggunya, hanya ada maksimal dua pembeli. “Itu juga langganan, bukan pembeli baru.”
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi untuk mengeksekusi lahan sengketa pada pekan ini. Jika sebelum putusan MA tanahnya dieksekusi, Heri mengancam akan mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum terkait tindakan Pemprov DKI itu.
Menurutnya, Pemprov DKI Jakarta bisa mencederai hukum jika mengeksekusi lahan sebelum keluar putusan MA. “Kalau mereka (Anies-Sandi) melakukan pembongkaran, itu tidak sesuai dengan janji kampanyenya,” Heri menegaskan.