Kenapa Ada Saksi Ahli Kasus Buni Yani di Sidang Jonru Ginting?
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Dwi Arjanto
Kamis, 1 Februari 2018 19:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Sidang lanjutan ujaran kebencian di media sosial dengan terdakwa Jon Riah Ukur alias Jonru Ginting kembali digelar di PN Jakarta Timur, Kamis 1 Februari 2018 yang mengagendakan mendengar keterangan saksi ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
JPU menghadirkan dua saksi ahli yang akan menguatkan dakwaannya dalam sidang tersebut. Kedua saksi ahli tersebut juga pernah bersaksi dalam persidangan untuk kasus serupa dengan terdakwa Buni Yani. Kedua orang itu adalah ahli digital forensik dari Polda Metro Jaya, Saji Purwanto dan ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Effendi Saragih.
Baca : Alasan Guntur Romli Bersedia Bersaksi di Sidang Jonru Ginting
Sidang Jonru yang berlangsung hari ini, merupakan kelanjutan dari sidang 30 Januari 2018 lalu yang dibatalkan karena ketidakhadiran dua saksi. Sidang kemarin juga dibatalkan karena istri Jonru, Hendra Yulianti menolak memberikan kesaksian.
"Sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), istri terdakwa bisa menolak menjadi saksi. Lalu dia menolak, hakim mengabulkan, dan jaksa penuntut umum (JPU) menerima," ujar kuasa hukum Jonru Ginting, Dedi Suhardadi, saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa, 30 Januari 2018.
Dedi menjelaskan, dua saksi yang harusnya hadir pada persidangan adalah mantan pegawai dan seorang pegawai Jonru Ginting. Menurut Dedi, keduanya tidak bisa hadir tanpa keterangan yang jelas.
Jonru Ginting ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan oleh penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pada Jumat, 29 September 2017. Jonru dilaporkan oleh Muannas Alaidid atas tuduhan ujaran kebencian karena menulis status di Facebook yang dinilai menghujat suku, agama, dan ras tertentu.
Atas perbuatannya, polisi menjerat Jonru Ginting dengan Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 28 Ayat 2 Juncto Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman hukuman di atas lima tahun penjara
Jonru Ginting juga diduga melanggar UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara. Selain itu, karena dianggap telah melakukan perbuatan tercela itu secara berulang, Jonru juga dijerat dengan Pasal Pasal 156 KUHP tentang Penghinaan Terhadap Suatu Golongan Tertentu dengan ancaman maksimal lima tahun penjara.