Stop Swastanisasi Air, Simak Bagaimana Anies Baswedan Terjepit
Reporter
Tempo.co
Editor
Zacharias Wuragil
Senin, 11 Februari 2019 11:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta terus mendesak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk segera memutus kontrak kerja sama dengan operator swasta. Terakhir mereka melampirkan enam alasan pentingnya langkah itu sembari meyakinkan bahwa pemutusan kontrak bukan barang baru di Indonesia dan dunia.
Baca berita sebelumnya:
Contoh Surabaya, Ini 6 Alasan untuk Anies Tolak Swastanisasi Air
Bukan hanya masyarakat Jakarta, Pemerintah DKI dan pusat pun disebut akan menikmati pemutusan kontrak itu. Adapun caranya juga dibeberkan beserta sejumlah argumennya.
"Banyak alasan, kewenangan, dan lain-lain yang dimiliki oleh Pemprov DKI untuk menghentikan swastanisasi air, jika punya political will (kemauan politik) yang baik," kata Ketua Divisi Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur di kantornya, Ahad 10 Februari 2019. YLBHI menjadi bagian dari koalisi.
Baca berita sebelumnya:
Desakan Stop Swastanisasi Air, Kemauan Anies Dipertanyakan
Delapan alasan itu berbenturan dengan lima pendapat hukum yang pernah diminta Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum bentukan Anies. Isinya, Anies tidak bisa melakukannya dengan langsung memutus kontrak kerja sama PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra.
Lima pendapat hukum di antaranya berbunyi, putusan MA tidak membatalkan kontrak kerja sama. “Jadi bagaimana caranya mengambil alih dengan mempertimbangkan PKS (perjanjian kerja sama) yang masih ada?” kata anggota Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum, Tatak Ujiyati, melontar tanya dalam Koran Tempo, Rabu 23 Januari 2019.
Baca:
Lima Pendapat Hukum untuk Anies Soal Swastanisasi Air Adalah ...
Termasuk yang dimintai pendapat hukum adalah jaksa pengacara negara (JPN). Pada 23 Januari 2018, jaksa menyatakan perjanjian kerja sama antara PAM Jaya dan Palyja serta Aetra tidak secara tegas dinyatakan batal oleh Mahkamah Agung.
<!--more-->
Jaksa pengacara negara Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Sri Astuti, membenarkan telah mengeluarkan pendapat hukum ihwal putusan Mahkamah itu. “Yang minta legal opinion itu PAM Jaya,” ujarnya.
Baca:
Soal Swastanisasi Air, Anies Diminta Beberkan Hasil Kerja Timnya
Kejaksaan kembali menyampaikan pendapat hukum serupa dalam diskusi kelompok terpumpun yang digelar Tim Evaluasi pada 27 September 2018.
Seorang anggota Tim Evaluasi menuturkan, satu opsi yang kemudian disarankan kepada Anies ialah pembelian saham Palyja dan Aetra.
Pembelian saham Palyja disebut akan menguntungkan pemerintah DKI. Sebab, bila kontrak privatisasi air dengan operator swasta berlanjut sampai 2023, PAM Jaya berpotensi berutang hingga Rp 6,79 triliun kepada Palyja.
Perkiraan utang itu berasal dari kewajiban PAM Jaya menanggung shortfall alias selisih biaya produksi dan penerimaan operator swasta. “Dengan pembelian saham itu, secara tak langsung PAM Jaya menghapus potensi utang,” katanya.
Baca:
MA Kabulkan PK Soal Swastanisasi Air, Begini Kata Pihak Tergugat
Adapun untuk Aetra, menurut anggota Tim Evaluasi, mekanisme pembelian saham tidak cocok. Sebab, Aetra memiliki utang kepada pihak lain. Utang itu akan menjadi tanggung jawab pemerintah DKI bila membeli saham Aetra.
Opsi lain yang bisa ditempuh Anies Baswedan selaku gubernur, menurut anggota Tim Evaluasi itu, ialah pemutusan kontrak kerja sama PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra. Ini seperti yang didesakkan koalisi. Namun pemutusan kontrak di tengah jalan itu berpotensi menimbulkan denda sekitar Rp 1,9 triliun. Adapun perjanjian kerja sama PAM Jaya dengan operator swasta itu baru berakhir pada 2023.