Pencemaran Udara Jakarta Picu Kanker? Ini Jawab Pemprov DKI
Reporter
M Julnis Firmansyah
Editor
Zacharias Wuragil
Jumat, 15 Februari 2019 08:21 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah DKI Jakarta bersikukuh pencemaran udara Jakarta masih dalam batas aman. Standar pun disebutkan telah sesuai dengan yang digunakan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Baca berita sebelumnya:
Bahaya Kanker, Pencemaran Udara Jakarta Sudah Lampaui Batas Wajar
Kepala Seksi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Agung Pujo Winarko, menanggapi data dari Greenpeace Indonesia bahwa pencemaran udara Jakarta telah beberapa kali melampaui batas ambang wajar. Terakhir disebutkan Greenpeace terjadi Kamis dinihari dan pagi, 14 Februari 2019.
"Kami menggunakan standar dari WHO. Kalau berpatokan dengan standar itu udara di Jakarta masih aman," ujar Agung, Kamis 14 Februari 2019.
Agung mengatakan kalau alat pemantau udara milik pemerintah memantau polusi jenis Particulate Matter (PM) 10 saja. PM 10 adalah partikel polusi berbentuk asap, debu, dan uap yang berukuran 10 mikron. Selama ini, kata Agung, jumlah polutan PM10 di Jakarta berkisar 49-81 mikrogram per meter kubik dan masih dalam zona hijau alias aman.
Baca:
Pencemaran Udara Jakarta, Jika di Bangkok Siswa Sudah Diliburkan
Parameter pengukuran itu berbeda dengan yang digunakan Greenpeace, yakni PM2,5. Jenis polutan ini merupakan debu kecil berukuran 2,5 mikron yang dihasilkan dari sisa pembakaran, mulai dari bahan bakar fosil, PLTU Batubara, dan transportasi.
<!--more-->
"PM 2,5 berbahaya, karena ukurannya dan dampaknya yang karsinogenik (menyebabkan kanker)," ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Ariyanu.
Baca:
Asian Games, Kepala Dinas DKI Akui Pencemaran Udara Jakarta Jeblok
Berdasarkan data yang dicupliknya dari stasiun pemantau udara milik Kedutaan Besar Amerika Serikat di selatan Jakarta, Bondan mengungkapkan kalau jumlah polutan PM 2.5 telah berada di atas ambang batas wajar, yakni sebanyak 88 - 102 ug/m3, pada Kamis dinihari dan pagi. Angka yang sama telah memicu sekolah-sekolah diliburkan serta anak-anak dan orang tua dilarang keluar rumah di Bangkok, Thailand.
Agung mengakui perbedaan paramater pengukuran itu. Namun dia berdalih mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 sebagai standar pengukuran pencemaran udara.
Agung lalu mempertanyakan metode Greenpeace dalam pengambilan sampel udara Jakarta. Menurutnya, selama ini tak ada komunikasi antara dinas dengan lembaga swadaya masyarakat itu.
Baca:
Tanggapan Kepala BMKG Soal Polusi Udara Jakarta Dinilai Keliru
"Perlu ditanyakan ke Greenpeace, bakunya (pengukuran pencemaran udara Jakarta) yang berlaku di Indonesia itu ikut WHO atau Amerika Serikat," kata Agung.