Nota Pembelaan Ratna Sarumpaet Ditolak, Jaksa: Tidak Berdasar
Reporter
Lani Diana Wijaya
Editor
Dwi Arjanto
Jumat, 21 Juni 2019 22:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Jaksa penuntut umum (JPU) menolak isi nota pembelaan alias pleidoi terdakwa kasus berita bohong atau hoax, Ratna Sarumpaet.
Jaksa Reza Murdani menyatakan, pembelaan Ratna tidak berdasar sehingga harus ditolak.
Baca : Terancam 6 Tahun Penjara, Ratna Sarumpaet Kapok Kritik Jokowi
"Sudilah kiranya majelis hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Ratna Sarumpaet sesuai dengan surat tuntutan penuntut umum," kata Reza di dalam ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 21 Juni 2019.
Hari ini jaksa membacakan jawaban atas pleidoi Ratna alias replik dalam sidang lanjutan. Reza memaparkan bantahan terhadap enam poin pembelaan Ratna. Tiga di antaranya membahas soal penjeratan terdakwa yang disebut lebih tepat menggunakan undang-undang penyiaran, objektivitas saksi JPU, dan makna keonaran.
Reza pertama-tama menjawab pembelaan pengacara Ratna bahwa kliennya itu tidak bisa dituntut dengan Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 14 itu mengatur siapapun menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja memunculkan keonaran di masyarakat dihukum maksimal 10 tahun penjara.
Saat membacakan pleidoi, pengacara menyebut, Ratna lebih tepat dikenakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, jaksa menepisnya.
Reza mengutarakan dalam UU Penyiaran khusus mengatur bahwa pesan tertentu disampaikan melalui media sosial atau siaran. Sementara apa yang dilakukan Ratna adalah memberitahukan hoaks seperti yang tercantum dalam UU 1/1946. "Bahwa perbuatan terdakwa tersebut telah terbukti secara meyakinian sebagaimana diuraikan dalam tuntutan kami," ujar Reza.
Baca : Tak Peduli Lagi Politik, Begini Ratna Sarumpaet Tanggapi Sengketa Pilpres
Poin kedua mengenai definisi keonaran yang masih berkaitan dengan UU 1/1946. Jaksa menuntut Ratna dengan Pasal 14 ayat 1 UU1/1946 karena tentang mengedarkan bohong dengan sengaja memunculkan keonaran.
<!--more-->
Pengacara menampik Ratna telah menimbulkan keonaran di tengah masyarakat. Insank Nasarudin, pengacara Ratna, mengungkapkan keonaran yang dimaksud dalam pasal tersebut tidak terjadi karena tak ada pihak yang mengalami kerugian akibat berita bohong pemukulan terdakwa.
Dalil ini dibantah lagi oleh jaksa. Reza mengacu pada keterangan tiga ahli. Salah satunya dari ahli bahasa, Wahyu Wibowo, yang berpendapat keonaran merupakan keributan. Artinya, makna keonaran tak hanya melakukan tindakan anarkis, melainkan membuat gaduh atau memicu orang lain bertanya-tanya.
Poin ketiga bahwa jaksa membantah pernyataan pengacara yang meragukan objektivitas saksi dengan latar belakang penyidik. Jaksa sebelumnya menghadirkan beberapa penyidik sebagai saksi di persidangan Ratna.
Menurut Reza, menghadirkan penyidik sebagai saksi dalam persidangan merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini sudah sesuai dengan Pasal 184 ayat 1 dan Pasal 185 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi memberikan keterangan berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dan dialami.
Baca : Begini Ratna Sarumpaet Mengaku Berbohong Tapi Tak Berniat Bikin Onar
"Tidak ada ketentuan yang mengatur dalam KUHAP yang melarang penyidik diminta keterangan sebagai saksi karena faktanya banyak perkara lain di mana penyidik sebagai saksi misalnya saja dalam perkara narkotika," jelas dia.
JPU menuntut Ratna Sarumpaet dihukum penjara 6 tahun. Jaksa menyatakan Ratna bersalah atas penyebaran berita bohong tentang penganiyaan dirinya sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat. Ratna dianggap terbukti melanggar Pasal 14 Ayat 1 UU 1/1946.