Kata Pengamat Soal Premanisme Pasca-Penangkapan John Kei
Reporter
M Yusuf Manurung
Editor
Juli Hantoro
Selasa, 30 Juni 2020 15:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian kembali menangkap John Kei pada Ahad, 20 Juni atas dugaan pembunuhan yang dilatarbelakangi sengketa uang hasil penjualan tanah. John Refra alias John Kei yang baru saja bebas dari Nusakambangan dan sempat dikabarkan telah bertobat kini kembali melakukan aksi brutal bersama anak buahnya.
Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya premanisme tetap eksis. Antropolog dari Universitas Indonesia, Rendy A. Prasetya menjawab bahwa premanisme akan selalu ada di mana pun dan kapan pun, baik di negara maju maupun berkembang. Alasan preman tetap eksis karena masyarakat sendiri yang membutuhkan kehadiran mereka.
"Preman juga profesi," kata Rendy kepada Tempo pada Selasa, 30 Juni 2020.
Rendy mengatakan, preman adalah orang bebas, dalam artian pihak yang tidak berbaju atau berseragam. Sejumlah masyarakat, kata Rendy, membutuhkan jasa preman seperti untuk penagihan utang, pengambilan kendaraan, dan pengelolaan parkiran yang dia sebut sebagai sumber daya. Di DKI Jakarta, kata dia, sumber daya tersebut melimpah.
"Sumber daya ini menghidupi masyarakat dan sekaligus menghidupi preman itu sendiri. Jadi, mereka saling membutuhkan," ujar Rendy.
Rendy menjelaskan, preman terikat pada jaringan sosial yang melampaui kelompok sosial. Jaringan ini juga merupakan faktor yang membuat preman selalu eksis. Contohnya kata dia, kelompok Kei tak harus selalu kerja sama dengan Kei, begitu pun dengan kelompok Ambon dan organisasi masyarakat atau Ormas. Bahkan menurut dia, jaringan ini pun lintas kategori. Tidak hanya sebatas antarpreman, namun juga terhubung hingga ke orang-orang di institusi negara.
"Kalau kita lihat mereka saling terkoneksi," ujar dosen yang juga pernah meneliti tentang premanisme ini.
Rendy mengatakan, pemenjaraan pimpinan premanisme juga tidak otomatis membubarkan kelompok. Ia berujar, penjara hanyalah isolasi fisik, bukan isolasi jaringan sosial. Jadi wajar saja, walaupun ketua preman telah ditangkap dan dipenjara, kelompoknya akan tetap eksis.
"Karena tetap akan ada orang yang menggantikan peran atau yang berperan atas nama. Isolasi badan tersebut tidak menghentikan pergerakan orang," kata Rendy.
Dalam laporan Koran Tempo edisi 26 Juni 2020 disebutkan bahwa peta premanisme di Jakarta tak banyak berubah selama satu dekade terakhir. Seorang perwira polisi mengatakan nama-nama lama seperti John Kei dari kelompok Maluku; Thalib Makarim dari Ende, Flores; dan Hercules dari Timor, masih dominan.
Meski menganut budaya patron-klien yang kuat, sumber Tempo tersebut mengatakan bahwa pemimpin yang bolak-balik masuk dipenjara tidak membuat suatu kelompok bubar. Kalau sekadar lebih kalem, iya.
"Mereka menunggu momen saja, seperti kasus John Kei, yang terjadi setelah dia keluar penjara," ujar sumber itu.
Menurut sumber Tempo itu, belakangan memang muncul kelompok baru. Namun polisi mengidentifikasi mereka terafiliasi dengan nama lama, termasuk Hercules. "Cuma saat ditangkap, mereka tidak mau mengakui hubungan itu," kata perwira yang terlibat dalam penangkapan Hercules pada 2018 ini.
M YUSUF MANURUNG | INGE KLARA SAFITRI