Tahan Tom Lembong dan Charles Sitorus, Kejagung Akui Sempat Kesulitan Usut Korupsi Impor Gula
Reporter
Dinda Shabrina
Editor
Febriyan
Rabu, 30 Oktober 2024 15:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar, mengakui pihaknya sempat kesulitan dalam mengusut kasus korupsi impor gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau yang lebih dikenal dengan Tom Lembong, dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, Charles Sitorus. Penyidikan kasus ini, menurut Harli, sudah dilakukan sejak Oktober 2023.
“Memang saya sampaikan bahwa penyidikan ini sudah dilakukan sejak Oktober 2023. Jadi persis satu tahun ya. Nah, tetapi bahwa setiap penanganan perkara ada karakteristik yang dimiliki oleh perkara itu. Tidak bisa disamakan satu perkara dengan perkara yang lain,” kata Harli di Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu, 30 Oktober 2024.
Harli menyatakan penyidik mengalami sejumlah kesulitan utnk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi ini. Selama kurun waktu satu tahun, menurut dua, penyidik terus melakukan penggalian. "Terus melakukan pengkajian dan terus melakukan pendalaman terhadap bukti-bukti yang diperoleh,” ucapnya.
Penyidik, menurut Harli, telah memeriksa Tom Lembong dan Charles Sitorus tiga kali dalam kurun waktu itu. Hanya saja, menurut dia, Tom dan Charles saat itu masih berstatus sebagai saksi. Dia pun menyatakan penyidik menetapkan Tom dan Charles setel merasa mengantongi bukti yang cukup soal keterlibatan keduanya.
“Kemudian penyidik menggunakan kewenangannya dalam rangka melakukan penahanan terhadap kedua tersangka (Tom Lembong dan Charles Sitorus),” kata Harli.
Kejaksaan Agung menahan Tom Lembong dan Charles Sitorus sebagai tersangka kasus korupsi impor gula pada Selasa malam, 29 Oktober 2024. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menyatakan Tom berperan sebagai pihak yang memberi izin impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105 ribu ton kepada PT AP. GKM tersebut nantinya akan diolah menjadi gula kristal putih (GKP).
Tindakan itu, menurut Qohar melanggar Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 tahun 2004. Qohar menyatakan impor GKM seharusnya hanya boleh dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Selain itu, Qohar juga menyatakan pemberian izin impor yang dikeluarkan Tom Lembong tersebut tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi lainnya serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian soal kebutuhan gula dalam negeri.
Pada tanggal 28 Desember 2015, dilakukan Rakor Bidang Perekonomian yang dihadiri oleh kementerian di bawah Kemenko Perekonomian. Salah satu pembahasannya adalah bahwa Indonesia pada tahun 2016 kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.
Selain itu, Kejagung juga menyatakan Tom sempat mengeluarkan surat penugasan kepada PT PPI untuk memenuhi kebutuhan dan menstabilkan harga gula nasional pada Januari 2016. Caranya, PT PPI bekerjasama dengan produsen gula yang mendapat kuota impor GKM.
Sebelum penugasan itu keluar, Charles Sitorus sempat memerintahkan Staf Senior Manager Bahan Pokok PT PPI melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI di Gedung Equity Tower SCBD sebanyak empat kali. Pertemuan itu untuk membahas rencana kerja sama antara PT PPI dengan delapan perusahaan tersebut soal impor GKM yang akan diolah menjadi GKP.
Kejaksaan Agung menyatakan akibat kebijakan Tom Lembong itu, negara mengalami kerugian sekitar Rp 400 miliar. Nilai itu, menurut Qohar, berasal dari potensi keuntungan yang seharusnya dinikmati oleh PT PPI sebagai BUMN namun justru dinikmati oleh delapan perusahaan yang mendapat kuota impor GKM.