TEMPO Interaktif, Jakarta - Razia preman, pengamen, dan pengemis yang digelar sejak dua hari kemarin mulai menuai kritik dan dianggap tidak efektif, Rabu (16/6). Pasalnya sebelum razia dilakukan, hari dan tempat telah diumumkan terlebih dahulu. Akibatnya yang terjaring razia lebih banyak para pengamen dan masyarakat yang tidak membawa kartu tanda penduduk dari pada preman atau pelaku tindak kejahatan.
"Karena para preman sudah dengar informasi razia itu dan sembunyi," ujar Ketua Forum Warga Kota Jakarta, Azas Tigor Naingolan, saat dihubungi Tempo.
Menurut Tigor, sebenarnya tujuan diadakannya razia itu sudah sesuai yaitu untuk menekan tingkat kejahatan di Ibu Kota, hanya pelaksanaanya yang mesti diperbaiki. "Sebagai shock therapy, pelaksanaan di awal razia kemarin diumumkan tidak terlalu masalah. Namun semestinya razia selanjutnya dilakukan secara diam-diam dan lebih fokus pada preman," paparnya.
Untuk mengurangi tingkat kejahatan dan pelanggaran terutama di angkutan umum, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berkerja sama dengan polisi, Dinas Perhubungan dan Dinas Sosial merazia preman, pengamen dan pengemis sejak Senin lalu.
Pada hari pertama, razia digelar di Jakarta Utara dan Pusat. Hari kedua razia dilakukan di Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Selama dua hari pertama, ratusan orang terjaring.
Sayangnya hampir tidak ada preman atau pelaku kejahatan yang terciduk. Mereka yang terjaring hanya pengamen dan warga yang tidak membawa kartu tanda penduduk. Seperti di Jakarta Barat, razia yang melibatkan 200 personel gabungan itu hanya menjaring 16 pengamen dan 50 warga yang tidak membawa KTP.
Rencananya hari ini, razia serupa akan dilakukan di Jakarta Selatan dengan melibatkan 177 petugas gabungan.
AGUNG SEDAYU