TEMPO.CO, Jakarta - Nelayan Muara Angke meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno (Anies-Sandi) merobohkan bangunan di pulau reklamasi sebagai bentuk mewujudkan keadilan sekaligus pemenuhan janji kampanye menolak reklamasi.
"Masyarakat biasa membangun gedung tanpa izin sudah pasti dirobohin, itu juga harus sama," kata nelayan Muara Angke, Iwan Sarmidi, di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Jalan A Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Cakung, Jakarta Timur, pada Selasa sore, 21 November 2017.
Iwan, yang juga anggota Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia, menjelaskan, PT Kapuk Naga Indah selaku pengembang telah banyak melakukan pelanggaran. Selama moratorium, PT Kapuk Naga Indah dinilai tetap melakukan pembangunan di Pulau C dan D. "Kami mewakili nelayan di Muara Angke menuntut hukum dan keadilan," ujarnya.
Sore tadi, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menggugat sertifikat hak guna bangunan (HGB) Pulau D hasil reklamasi Teluk Jakarta, yang dikeluarkan Kantor Pertanahan Jakarta Utara, ke PTUN Jakarta. Penerbitan HGB oleh Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara Kasten Situmorang tersebut dituding bermasalah dan menyalahi prosedur.
Gugatan kali ini dibuat atas nama 15 nelayan Teluk Jakarta dan lembaga swadaya masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Sebelum melakukan gugatan, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta sebenarnya juga telah menyatakan keberatan terbitnya hak pengelolaan lahan (HPL) dan HGB Ppulau D ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Namun Kementerian disebut tidak merespons keberatan mereka.
Juru bicara Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, Tigor Hutapea, mengemukakan beberapa alasan menggugat HGB Pulau D. Permasalahan pertama HGB Pulau D adalah dikeluarkan dengan melangkahi dua proses penting dalam reklamasi. HGB Pulau D dikeluarkan saat kajian lingkungan hidup strategis serta Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta belum selesai dibahas.
"Dia lompat di dua proses," ucapnya.
Kedua, Tigor melanjutkan, penerbitan HGB Pulau D terkesan terburu-buru dan membingungkan. Sebab, jangka waktu permohonan dan pengeluaran HGB tidak memiliki selang hari, keduanya keluar pada 23 Agustus 2017. Bahkan dalam SK HGB yang dikeluarkan pengukuran tanah yang dimasukkan sebagai bahan pertimbangan pengeluaran HGB baru dilakukan pada 24 Agustus. "Ini proses yang aneh," tuturnya.
Ketiga, HGB yang dikeluarkan dinilai tidak memiliki kepentingan sosial dan masyarakat umum. PT Kapuk Naga Indah dinilai hanya memiliki kepentingan untuk komersial sendiri. Dia meragukan pengembang mau memperuntukkan 47,5 persen wilayah Pulau D untuk kepentingan fasilitas umum dan sosial. Lapangan golf, contohnya, bukanlah demi kepentingan umum.
Kantor Pertanahan Nasional Jakarta Utara mengeluarkan sertifikat HGB Pulau D reklamasi seluas 312 hektare untuk pengembang PT Kapuk Naga Indah. Sertifikat dengan nomor 23-08-2017.-1687/HGB/BPN-09.05/2017 tersebut sempat beredar di media sosial sebelum Kantor Pertanahan Nasional Jakarta Utara menyampaikannya secara resmi kepada publik.
Kepala BPN DKI Jakarta Muhammad Najib Taufik mengatakan penerbitan sertifikat HGB Pulau D sudah sesuai dengan prosedur. Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2013 Pasal 4 huruf c, yang menyatakan kewenangan pemberian HGB di atas HPL merupakan kewenangan kepala kantor pertanahan kabupaten dan kota.
"Penerbitan HGB di atas HPL adalah kewenangan kantor pertanahan kabupaten dan kota (Jakarta Utara)," katanya dalam konferensi pers di kantor BPN DKI Jakarta pada Selasa, 29 Agustus lalu.
HGB yang dikeluarkan untuk anak perusahaan Agung Sedayu Group tersebut adalah HGB induk. Artinya, 52,5 persen pemanfaatannya digunakan untuk kepentingan komersial dan 47,5 persen digunakan untuk kepentingan fasilitas umum dan sosial. Jangka waktu HGB untuk PT Kapuk Naga Indah Jangka berdurasi selama 30 tahun.
Iwan Sarmidi memastikan nelayan Muara Angke akan mengawasi janji Anies-Sandi semasa kampanye pilkada 2017, yang menolak reklamasi. Jika janji dikhianati, nelayan mengancam melakukan aksi massa ke Balai Kota Jakarta.