TEMPO.CO, Jakarta - Guru Honorer di Sekolah Menengah Pertama Negeri atau SMP N 84 Koja, Jakarta Utara, Sugianti menceritakan kronologi kasus 'penjegalan' dirinya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dia mengaku memasukkan berkas seleksi CPNS khusus honorer kategori 2 atau untuk tenaga yang mengajar di intansi pemerintah pada tahun 2010.
Sugianti mengatakan bahwa dirinya mengikuti tes CPNS untuk honorer kategori 2 pada 3 November 2013 dan diumumkan lulus pada 10 Februari 2014. Setelah itu, kata dia, peserta yang lulus diperintah untuk melakukan pemberkasan ulang guna mendapatkan Nomor Identitas Pegawai atau NIP.
"Itu proses pemberkasannya sekitar 1,5 tahun, kalau tidak salah mulai Mei 2014 hingga akhir tahun 2015," kata Sugianti saat ditemui Tempo di kawasan Sunter, Jakarta Utara pada Selasa, 29 Oktober 2019.
Hingga akhir 2015, ibu dua anak itu mengaku tidak juga mendapatkan NIP. Dia lantas meminta kejelasan kepada Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Namun, Dinas disebut hanya memberikan jawaban secara lisan.
Sugianti akhirnya mengirimkan somasi kepada Dinas Pendidikan DKI Jakarta yang diteruskan kepada Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta dan Badan Kepegawaian Nasional atau BKN pada April 2016. Dalam somasinya, Sugianti meminta kejelasan karena belum mendapatkan NIP walau lulus seleksi CPNS.
"Akhirnya ada jawaban tertulis dari Dinas Pendidikan DKI pada tanggal 30 September 2016," kata dia.
Dalam suratnya, Dinas menyampaikan hasil laporan Inspektorat DKI Jakarta. Sugianti disebut sebagai tenaga honorer sejak Juli 2003 di SMA Negeri 1 Lahat, Sumatera Selatan sebagai guru bantu; dari Juli 2004 - Juli 2006 menjadi tenaga honorer di SD Negeri Gedangan II Mojokerto; dari Juli 2007 - Juli 2010 sebagai tenaga honorer di SD Negeri Papanggo, Jakarta; dari Juli 2011 sampai saat surat tersebut dikeluarkan menjadi guru di SMP Negeri 30 Jakarta.
Dalam surat itu, Dinas menyatakan Sugianti tidak lulus karena tidak memenuhi syarat masa kerja minimal satu tahun di instansi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta per 31 Desember 2005. Selanjutnya, Sugianti disebut tidak bekerja secara terus menerus di intansi Pemerintah DKI Jakarta sampai dilakukan peninjauan.
Melihat jawaban yang mengutip temuan dari Inspektorat DKI Jakarta itu, Sugianti pun kebingungan. Dia merasa tidak pernah menjadi guru honorer di SDN Gedangan II, SD Negeri Papanggo dan SMPN 30 Jakarta atau berpindah-pindah sekolah sehingga gagal PNS.
"Menurut saya ini cacat materi," kata dia.
Dia mengaku pernah mengajar di SMA Negeri 1 Lahat pada 2002 hingga 2005. Namun sejak 2005 hingga 2010 atau saat pemberkasan berlangsung, ia bekerja sebagai honorer di SMP Negeri 84 Jakarta.
Sejak tahun 2005, Sugianti telah mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia dan PLKJ di SMP Negeri 84, bahkan hingga saat ini. Data itu, kata Sugianti, pun sesuai dengan data kelulusan berkasnya saat seleksi CPNS.
Usai menerima jawaban itu, Sugianti mendatangi Dinas Pendidikan DKI untuk mengklarifikasi data yang salah. Namun, Sugianti mengaku hanya menerima jawaban dari Dinas bahwa proses penerimaan PNS periode tersebut sudah selesai.
"Karena saya anggap tidak punya itikad baik, saya gugat ke PTUN pada Desember 2016," ujar Sugianti.
Tergugat dalam kasus ini adalah Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Sedangkan objek gugatannya adalah surat Dinas yang diterima Sugianti pada 30 September 2016.
Di PTUN Jakarta, Sugianti memenangkan perkara dan putusan dikeluarkan pada Mei 2017. Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengajukan banding atas putusan pertama.
Sugianti tetap menang dalam banding. Putusan itu keluar pada November 2017. Amar putusan banding dibacakan oleh pengacara Sugianti, Pitra Romadoni.
"Pertama, menguatkan putusan pertama di PTUN. Kedua, mewajibkan pembanding untuk memproses pengangkatan terbanding sebagai CPNS," kata Pitra Romadoni, Selasa, 29 Oktober 2019.
Walau begitu, Dinas Pendidikan DKI tetap tidak terima dengan putusan banding dan mengajukan kasasi. Pitra mengatakan kliennya kembali menang saat kasasi. Menurut dia, seluruh argumen dalam kasasi yang diajukan Dinas Pendidikan DKI Jakarta ditolak oleh hakim.
Sugianti pun akhirnya mengajukan gugatan perdata kepada Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi hingga Gubernur DKI Jakarta pada Senin kemarin. Dia menggugat pemerintah mengganti rugi sebesar Rp 5 miliar karena tak juga mengangkatnya menjadi PNS.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Syaefuloh Hidayat belum menjawab panggilan telepon Tempo tentang masalah ini. Pesan Tempo melalui aplikasi WhatsApp juga belum dibalas.