TEMPO.CO, Jakarta - Ketua RW 03, Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur, Aga mengkritik peringatan dini banjir dari perangkat disaster warning system (DWS). Menurut dia, suara pada toa peringatan banjir di wilayahnya kurang keras.
Kondisi itu diperparah dengan lokasi toa yang berada di ujung Jalan Inspeksi Kali Ciluwung atau tidak berada di tengah-tengah kampung. "Harusnya didirikan di tengah-tengah. Saya saja yang jaraknya sekitar 200 meter dari jalan kurang dengar apalagi warga yang di dalam-dalam," kata dia kepada Tempo, Sabtu, 18 Januari 2020.
Tempo menemukan alat peringatan dini banjir di RW 03 berada di persimpangan antara Jalan Jatinegara Barat dengan Jalan Inspeksi Kali Ciliwung. Alat berupa tiang yang ujungnya memiliki empat corong pengeras suara itu berdiri persis di pinggir Kali Ciliwung.
"Di sini warga ada sekitar 4.200 jiwa. Pas banjir kemarin, 12 RT terendam semua," kata Aga.
Selain kurang keras, Aga mengatakan DWS sudah tidak berfungsi sejak 2016. Tawuran yang berujung kebakaran di wilayah itu disebut ikut menghanguskan bagian alat. Menurut Aga, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta telah mendatangi lokasi DWS beberapa waktu lalu. Mereka berjanji akan memperbaiki toa tersebut.
Kelurahan Kampung Melayu merupakan satu dari 14 titik rawan banjir yang sudah dipasangi alat peringatan dini banjir atau disaster warning system (DWS). BPBD DKI berencana mengadakan alat serupa di enam kelurahan lain dengan menghabiskan anggaran Rp 4,03 miliar.
Selain di RW 03, toa sejenis juga berada di RW 07 Kampung Melayu. Menurut ketua RW setempat, Majid, toa di wilayahnya masih berfungsi. Pada saat banjir di awal tahun 2020, seseorang sempat menyampaikan kondisi status siaga 1 dan 2 di pintu air Katulampa pada Selasa malam, 31 Desember 2019. Menurut dia, suara orang yang ada di toa berasal dari BPBD.
"Jadi sistemnya online gitu. Dari BPBD DKI Jakarta disiarkan pakai toa ini," ujar Majid.
Menurut Majid, pengelolaan toa dilakukan oleh BPBD DKI Jakarta. Alat peringatan dini di RW 07 itu disebut sudah berdiri sejak tahun 2009. Dia berujar, toa tidak bisa dioperasikan secara manual oleh warga.
"Selama ini cuma orang itu aja yang ngomong. Tempatnya dikunci juga," kata Majid.
M YUSUF MANURUNG