TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (TIM), Radhar Panca Dahana menjelaskan poin-poin kritiknya terkait revitalisasi TIM. Aspirasi dari kelompoknya itu disebut belum diakomodir oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Komisi X DPR RI yang kemarin menggelar rapat bersama Pemprov DKI.
Kritik pertama Radhar Panca ditujukan untuk desain arsitektur dalam revitalisasi TIM. Bangunan dalam revitalisasi dinilai terlalu modern bahkan post modern serta tidak merepresentasikan budaya Indonesia.
"Sementara kita punya kekayaan arsitektur seperti dari Bengkulu, Jambi, Minang, Aceh, Toraja, Bugis, Bali, Jawa. Itu kekayaan seni rupa dan arsitekturnya luar biasa, kenapa tidak mengambil inspirasi dari situ, kenapa malah memilih gedung kotak-kotak, kaca-kaca?," ujar Radhar kepada Tempo, Kamis, 27 Februari 2020.
Foto udara alat berat di lokasi proyek revitalisasi kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta, Rabu, 19 Februari 2020. Direktur Operasional Jakarta Propertindo alias Jakpro, Muhammad Taufiqurrachman, mengatakan saat ini progres proyek revitalisasi TIM alias Taman Ismail Marzuki telah 15 persen. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Kritik selanjutnya adalah, Pemerintah DKI Jakarta dan PT Jakarta Propertindo disebut tidak membicarakan pembagian ruang di TIM. Menurut dia, penting untuk dijelaskan di mana ruang ekspresi, diskusi atau sekadar nongkrong bagi para seniman. Sebagai orang yang sudah beraktivitas sekitar 40 tahun di TIM, Radhar mengaku mengerti ekosistem di sana.
"Maka alangkah bagusnya jika bisa mengakomodir gagasan-gagasan ini," kata Radhar Panca Dahana.
Berikutnya, Radhar mengkritik adanya pembangunan hotel di TIM yang sudah diklarifikasi Pemerintah DKI Jakarta sebagai wisma seni. Walau menurut dia, pengertian wisma seni itu sendiri juga rancu.
Menurut dia, TIM dulunya memang memiliki wisma seni. Bentuknya, kata dia, sederhana dan harganya murah bukan seperti bangunan yang akan dibangun dalam revitalisasi TIM saat ini. Menurut Radhar Panca, wisma seni yang dulu walau sederhana, namun bisa membuat seniman merasa seperti di rumahnya sendiri.
Sedangkan bangunan wisma seni dalam revitalisasi saat ini disebut sama saja dengan hotel. "Karena bentuknya hotel, desainnya memang begitu. Nah kalau bentuknya hotel, bisa gak bangunan itu menjadi ruang kebebasan pikiran, ruang imajinasi, lapang dan luas yang membuat seniman merasa di rumahnya?," kata dia.
Radhar Panca menyakini bahwa wisma seni yang akan dibangun bakal dikomersilkan. Menurut dia, pemerintah seharusnya tidak perlu membuat penginapan baru di kawasan TIM. Karena menurut dia, area di sekitar TIM sudah dipenuhi dengan hotel dan penginapan.
Kritik selanjutnya, tutur Radhar, adalah kewenangan PT Jakpro mengelola TIM. Menurut dia, Badan Usaha Milik Daerah DKI Jakarta itu bukan hanya mengelola sarana dan prasarana melainkan juga program di TIM.
"Ya bagaimana, korporasi mengurusi program kesenian itu agak mengganggu," kata Radhar Panca.
Namun, pernyataan Radhar Panca itu terbantahkan oleh hasil rapat antara Komisi X DPR RI dengan Pemerintah DKI Jakarta hari ini, Kamis, 27 Februari 2020. Peserta rapat juga menyepakati perihal pengelolaan sarana dan prasarana diserahkan kepada PT Jakarta Propertindo (Jakpro), sementara pengelolaan konten oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Dinas Kebudayaan.
Kritik Radhar terakhir berkaitan dengan sikap dari Anies Baswedan. Menurut dia, sang gubernur tidak pernah mengajak kelompoknya membahas revitalisasi TIM. Dia menilai, keputusan Anies memilh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai institusi representatif seniman untuk bekomunikasi seputar revitalisasi tidak tepat.
"Berarti dia (Anies Baswedan) tidak menganggap kami atau menganggap kami sebelah mata. Padahal yang membawa dia ke Komisi X kan kami," kata penulis esai Menjadi Manusia Indonesia itu.