Selain itu, pada persidangan Kamis, 30 April lalu ditemukan keanehan dalam barang bukti baju yang dikenakan Novel saat mengalami penyerangan. Menurut Arif, kondisi baju pada saat kejadian utuh, namun dalam sidang ditunjukkan hakim dalam kondisi terpotong sebagian dibagian depan. "Diduga bagian yang hilang terdapat bekas dampak air keras," kata Arif.
Kejanggalan keenam, tutur Arif, jaksa mengaburkan fakta air keras digunakan untuk penyiraman. Menurut dia, meski dampak penyerangan air keras sudah nyata membutakan mata Novel, jaksa justru mengarahkan dakwaan bahwa cairan tersebut bukan air keras. Bahkan dalam persidangan, penasehat hukum terdakwa sempat menanyakan terkait kebenaran kebutaan Novel.
"Komnas HAM pada tanggal 21 Desember 2018 lalu juga sudah merilis hasil temuan terhadap kasus Novel yang menegaskan bahwa data dari Kepolisian dan dokumen medis memang membenarkan bahwa penyidik KPK itu disiram air keras," ujar Arif.
Kejanggalan ketujuh, kata Arif, kasus kriminalisasi Novel kembali diangkat untuk mengaburkan pengungkapan perkara penyiraman air keras. Selama proses peradilan berjalan, ujar Arif, ada pergerakan yang diinstruksikan oknum tertentu guna memojokkan Novel dengan mengungkit kembali kasus pencurian sarang burung walet di Bengkulu. Padahal temuan Ombudsman tahun 2015 sudah menunjukkan bahwa adanya rekayasa dan manipulasi pada tudingan kasus sarang burung walet.
"Jelas isu tersebut menjadi tidak relevan dan terlihat hanya ingin mengalihkan perhatian untuk mengaburkan fakta penyerangan terhadap Novel," kata Arif.
Kejanggalan kedelapan yakni dihilangkannya alat bukti saksi dalam berkas persidangan. Menurut Arif, terdapat saksi kunci yang telah memberikan keterangan kepada Kepolisian, Komnas HAM, TGPF bentukan Polri namun diduga dihilangkan dan tidak diikutkan dalam berkas pemeriksaan persidangan oleh jaksa. Selain itu, saksi-saksi penting dan relevan dari pihak korban juga tidak dihadirkan oleh JPU.
"Hal ini merupakan temuan dugaan pelanggaran serius, bentuk upaya sistematis untuk menghentikan upaya membongkar kasus penyerangan Novel Baswedan secara terang," kata Arif.
Kejanggalan kesembilan terlihat dalam pemeriksaan saksi korban pada 30 April 2020. Menurut Arif, ruang pengadilan di penuhi oleh aparat Kepolisian dan orang-orang yang nampak dikoordinasikan untuk menguasai ruang persidangan. Dia berujar, bangku pengunjung yang harusnya dapat digunakan secara bergantian malah dikuasai oleh orang-orang tertentu. "Sehingga publik maupun kuasa hukum dan media yang meliput tidak dapat menggunakan fasilitas bangku pengunjung untuk memantau proses persidangan," kata dia.