TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak seluruh eksepsi yang diajukan oleh terdakwa Ruslan Buton. Jaksa juga meminta surat dakwaan yang mereka bacakan pada 13 Agustus lalu diterima.
"Melanjutkan pemeriksaan perkara ini," ujar jaksa Abdul Rauf saat memberikan tanggapan atas eksepsi pada Kamis, 3 September 2020.
Baca Juga: Jaksa Mendakwa Ruslan Buton dengan 4 Pasal Alternatif
Dalam sidang hari ini, jaksa menjawab sejumlah keberatan dari Ruslan Buton yang tercantum dalam berkas eksepsi. Contohnya, keberatan kuasa hukum Ruslan Buton yang menganggap bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara ini karena masalah tempat dugaan pidana dilakukan. Ruslan diduga melakukan pidana menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian di Sulawesi Tenggara, atau bukan di Jakarta.
Menjawab keberatan itu, jaksa Abdul Rauf mengutip penjelasan dari buku pakar hukum, M. Yahya Harahap. Jaksa menggunakan asas 'tempat terdakwa ditahan'. Ruslan Buton hingga saat ini ditahan di Badan Reserse Kriminal Polri di Jakarta Selatan. Tempat penahanan itu menurut jaksa lebih dekat dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengadili perkara ini.
"Dengan demikian, surat dakwaan penuntut unum tersebut dapat diterima dan tidak dapat dibatalkan demi hukum," ujar Abdul Rauf.
Sebelumnya, jaksa mendakwa Ruslan Buton dengan empat dakwaan alternatif. Dakwaan pertama melalui Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dakwaan kedua dengan Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dakwaan ketiga menggunakan Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dakwaan keempat memakai Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Jaksa menyebut Ruslan Buton melalukan tindak pidana dengan cara membuat surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam bentuk rekaman suara berdurasi 4.08 menit. Rekaman itu dibuat menggunakan handphone di rumahnya, Desa Matanauwe, Kecamatan Siotapina, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Pada intinya, rekaman berisi permintaan agar Jokowi mundur sebagai presiden demi menyelamatkan bangsa. Salah satunya, untuk menyelamatkan Indonesia dari Komunis.