TEMPO.CO, Jakarta - Publik mengenal DKI Jakarta memiliki berbagai nama pasar yang unik. Salah satunya adalah Pasar Rumput di Jalan Sultan Agung, Kelurahan Pasar Manggis, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Meski namanya Pasar Rumput, namun kenyataannya pasar tersebut tidak menjual rumput.
Penamaannya agaknya tak lepas dari sejarah masa lalu di tempat tersebut. Pada masa kolonial, pasar itu dijadikan tempat berdagang rumput untuk pakan kuda yang menjadi transportasi utama penduduk Batavia, saat itu.
Namun, seiring berjalannya waktu, pedagang rumput di Pasar Rumput mulai hilang satu persatu seiring dengan kemajuan teknologi transportasi. Pada masa kini lokasi Pasar Rumput terbilang strategis dan dapat dijangkau menggunakan transportasi umum karena dekat dengan halte TransJakarta Manggarai dan juga Stasiun Manggarai.
Sanitasi rekondisi
Di Pasar Rumput saat ini, dapat ditemukan banyak pedagang barang bekas seperti sepatu, sepeda, koper, kursi roda, sepatu hingga barang rumah tangga "water closet" (WC) rekondisi. Salah satu buruan wajib pengunjung yang datang ke Pasar Rumput adalah WC rekondisi yang masih layak pakai.
Deretan WC duduk dan jongkok rekondisi tertata rapi di trotoar Pasar Rumput. Pedagang WC rekondisi yang telah berjualan sejak lama di Pasar Rumput, Ade mengatakan, dirinya menjual kloset duduk dan jongkok hingga wastafel rekondisi di kiosnya.
Ade yang sudah berjualan di Pasar Rumput sejak tahun 2000 itu mengatakan mendapatkan pasokan WC bekas dari penyuplai yang telah menjadi langganan. "Kami dapat dari apartemen, bongkaran gedung atau kantor juga ada," kata Ade saat ditemui di lapaknya.
Ade mengatakan harga WC rekondisi itu ia jual kisaran harga Rp450 ribu hingga Rp4 juta tergantung pada model dan merek. Dia menambahkan untuk memoles WC bekas menjadi kembali seperti baru dibutuhkan beberapa peralatan seperti cairan asam klorida atau HCL hingga ampelas untuk memoles bagian yang kusam.
Lamanya waktu pemolesan WC bekas agar seperti baru tergantung dari kondisinya. Paling cepat, menurut Ade, tak sampai satu jam. Lain halnya apabila ada bagian WC bekas yang rusak atau pecah. Biasanya Ade masih dapat memperbaiki dengan cara dieratkan kembali menggunakan lem asalkan kerusakannya tidak parah.
Ade mengatakan kondisi pandemi COVID-19 beberapa tahun belakangan ini menurunkan omzet penjualan WC rekondisi. Dari yang awalnya dapat menjual sampai 50 setiap bulan hingga saat ini hanya sanggup menjual 10 WC rekondisi sebulan. "Jujur aja saya sempat nunggak bayar kredit di bank sampai lima bulan gara-gara sepi order," ujar Ade.
Dia mengatakan adanya kemajuan teknologi dengan kemunculan toko daring sedikit membantu penjualan WC rekondisi saat kondisi sulit seperti pandemi COVID-19. Melalui toko daring, Ade mampu menjual WC rekondisi ke berbagai daerah di luar Jakarta. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. "Kalau sebelum pandemi itu pembeli dari daerah langsung datang ke sini," kata Ade.
Barang antik
Tidak hanya di Pasar Rumput, tempat unik lain yang tampaknya layak didatangi adalah Jalan Surabaya, Menteng Jakarta Pusat. Jika menyusuri trotoar di jalan itu, seperti memasuki lorong waktu ke masa lalu. Deretan kios barang-barang antik berjajar rapi seakan menggoda mata untuk melirik.
Beragam jenis barang-barang tempo dulu seperti lampu, piringan hitam, koin tua, porselen, gramophone, hingga guci antik dapat ditemukan di lokasi ini. Lokasi Pasar Barang Antik Jalan Surabaya juga terjangkau bagi masyarakat yang ingin berkunjung karena tak jauh dari Jalan Surabaya terdapat Stasiun Cikini yang melayani penumpang KRL Jabodetabek.
Keberadaan pasar ini rupanya sudah ada sejak 1970-an. Berawal dari sejumlah pedagang yang tidak kebagian kios di Pasar Rumput.
Hingga akhirnya pada 1974, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin memindahkan para pedagang ke tempatnya sekarang di Jalan Surabaya. Salah satu saksi sejarah perkembangan Pasar Barang Antik di Jalan Surabaya adalah Omo. Pria paruh baya itu mengaku sudah berjualan di lokasi tersebut sejak 1970-an.
Di kios kecilnya saat ini, Omo menjual aneka lampu hias antik dengan harga bervariasi mulai dari ratusan ribu hingga paling mahal mencapai Rp5 juta. Omo mengatakan kondisi di Jalan Surabaya saat ini jauh berbeda jika dibandingkan dahulu. Menurut dia pembeli barang antik yang datang ke Jalan Surabaya sudah tidak seramai saat masa-masa pertama kali ia berdagang.
Banyak faktor yang menyebabkan sepinya pembeli di Pasar Barang Antik tersebut. Semakin berkembangnya toko daring hingga keberadaan pasar barang antik di berbagai daerah menjadi beberapa faktor penyebabnya. "Kalau sekarang di mana-mana sudah ada pasar barang antik seperti di Ciputat. Jadi, saingan sudah ramai," kata Omo.
Omo mengatakan bahwa kebanyakan pedagang barang antik yang berjualan di wilayah Jabodetabek merupakan pindahan dari Jalan Surabaya. Tak hanya itu, penyebab lain sepinya pembeli di Jalan Surabaya dalam dua tahun terakhir karena pandemi COVID-19.
Omo mengatakan dirinya mengalami penurunan omzet penjualan hingga 75 persen dibandingkan sebelum pandemi. Jika sebelum pandemi ia dapat menjual hingga empat barang antik setiap bulan. Namun, kali ini hanya mampu menjual satu barang antik setiap bulannya.
Omo juga mengatakan bahwa sepinya pembeli itu membuatnya terpaksa menutup toko barang antiknya lebih cepat dibandingkan sebelumnya. "Dagang buka dari jam sembilan pagi. Kalau dulu dari jam tujuh pagi juga sudah buka. Tutup jam empat sore karena sudah sepi," kata Omo.
Seiring dengan menurunnya kasus COVID-19 dibandingkan dua tahun lalu, Omo dan rekan-rekannya yang lain memiliki harapan akan pulihnya roda ekonomi para pedagang di Jalan Surabaya. Keberadaan pasar-pasar unik di DKI Jakarta tersebut seharusnya dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai destinasi wisata belanja bagi turis domestik dan mancanegara.
Untuk itu, dibutuhkan peran dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam memberdayakan para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) itu. Mereka layak diberdayakan agar ekonomi bertumbuh kembali, setelah dua tahun dihantam pandemi COVID-19.