Selang satu hari, yakni 31 Agustus 1990 Wali Kota Jakarta Utara mengeluarkan interuksi No 79 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Penyuluhan dan Inventarisasi Penduduk dan Bangunan yang berdiri di Tanah Merah.
Permasalahan muncul pada 20 September 1990. Saat itu Wali Kota Jakarta Selatan, melalui Sekwilko H. Zaenal Arifin mengeluarkan Surat Nomor 4568/1.785.2 untuk mengundang warga Tanah Merah hadir dalam Rapat Penyuluhan ke II oleh Tim Terpadu.
Penyuluhan itu pada Rabu, 26 September 1990 di Balai Rakyat Kecamatan Koja. Total ada 3.000 KK penggarap lahan Tanah Merah. Pertemuan yang dihadiri langsung oleh Wali Kota Jakarta Utara Mulyadi beserta jajarannya.
Mulyadi saat itu menyampaikan bahwa warga penghuni Tanah Merah Plumpang Jakarta Utara akan dibebaskan dengan alasan tanah yang luasnya 160 hektare akan dipakai Pertamina.
Ia menerangkan cara pembebasan lahan, nantinya akan dihitung nilai keseluruhan dari tanah, bangunan, tanaman, sapitank bahkan kandang ayam juga dibayar oleh Pertamina. Meski demikian, tidak disebutkan nominal pasti untuk ganti rugi.
Lima hari selanjutnya tim pendataan dari tim Mustika Jakarta Utara dan tim Pertamina mengadakan pengukuran. Namun, yang didata hanya bangunan dan penghuninya saja. Soal apa yang disebutkan Mulyadi, seperti tanah dan tanaman tidak didata.
Rumah warga yang sedang pergi juga dibiarkan. Pendataan dilakukan tanpa pemberitahuan atau musyawarah terlebih dahulu termasuk soal nominal ganti rugi Pertamina.
Muncul surat bantahan dari Pertamina