Pertama, hakim tidak memeriksa perkara secara berimbang, terutama soal CCTV saat penganiayaan tidak ditampilkan di persidangan.
Asiyah menuturkan, hakim memilih melihat pelaku sudah bersalah dengan pemilihan fakta oleh hakim tanpa melihat fakta di persidangan.
Kedua, hakim tunggal tidak melakukan pemeriksaan sesuai Perma 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum terkait latar belakang seksual anak.
Dalam persidangan, diungkapkan adanya riwayat aktivitas seksual AG. Namun itu tidak menjadi suatu pertimbangan pidana untuk tersangka Mario Dandy, justru dinyatakan AG tidak memiliki trauma tanpa pemeriksaan lebih lanjut.
Koalisi AG-AP, kata Aisyah, menilai hakim tidak mempertimbangkan kerentanan posisi AG. Bahwa sebenarnya persoalan ini menjadi suatu kerentanan bagi AG yang masih berusia remaja.
Ketiga, Hakim tunggal tidak memperhatikan laporan penelitian kemasyarakatan atau Litmas, di mana dalam Undang-Undang SPPA atau Sistem Peradilan Pidana Anak hal ini wajib untuk dipertimbangkan, dan ini untuk krusial dipertimbangkan. Namun hakim tidak mempertimbangkan di putusan tingkat pertama," tutur Aisyah.
Keempat, pelanggaran yang dianggap paling berat adalah hakim tidak memberi cukup waktu untuk pembelaan anak sebagaimana prinsip dasar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang SPPA.
Dari data kuasa hukum AG, kata Aisyah, hakim hanya memberi waktu kepada kuasa hukum uuntuk menghadirkan saksi dan ahli selama dua jam 30 menit. Namun Jaksa Penuntut Umum diberi waktu dua hari kerja.
4 dugaan pelanggaran oleh hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta