TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi C Bidang Keuangan DPRD DKI Jakarta Eneng Malianasari mendukung keputusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI menaikkan pajak hiburan menjadi 40 persen. Namun, ada beberapa catatan yang harus ditindaklanjuti oleh Pemprov, khususnya Bapenda (Badan Pendapatan Daerah).
Politikus PSI ini mengatakan keputusan Pemprov DKI menaikkan pajak hiburan menjadi 40 persen sudah tepat. Sebab, mengacu dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), jangkauan kenaikan pajak hiburan ini 40 sampai dengan 75 persen.
Atas hal itu, Eneng mengatakan Pemprov DKI Jakarta perlu mendapat apresiasi atas keputusanya menaikkan pajak hiburan menjadi 40 persen. Namun demikian, masih ada pekerjaan rumah (PR) yang harus dituntaskan. "Nah, sebetulnya PR pajak hiburan, karoke, dan lain-lain itu adalah pembenahan perizinan," kata dia katanya saat dihubungi Tempo pada Kamis, 18 Januari 2024.
Eneng juga menyoroti aliran uang pajak hiburan. "Yang jadi tantangan dari kenaikan pajak hiburan adalah kebocorannya, tingkat kebocorannya, misalnya, 40 persen ini setornya ke rekening siapa? Rekening pribadi atau ke rekening pemerintah," katanya saat dihubungi Tempo pada Kamis, 18 Januari 2024.
Dia minta Bapenda DKI memastikan uang pajak hiburan masuk ke rekening Pemprov DKI, sehingga uang pajak tersebut menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD). "Kenapa begitu? Karena banyak usaha-usaha karaoke atau hiburan secara izin, izinnya bukan hiburan," ujarnya.
Menurut dia, pembenahan izin perlu segera dituntaskan Pemprov DKI sebelum menerapkan pajak hiburan 40 persen. Alasannya, ada banyak tempat hiburan di Jakarta yang izinnya tidak sesuai dengan jenis usahanya. "Contoh kecil, restoran itu kena pajak hiburan kalau semisalnya di restoran tersebut ada live musik. Nah itu ada izinnya nggak?" ucapnya.
Hal itu perlu dilakukan agar kenaikan pajak hiburan ini tidak sia-sia. Mengingat, tujuan dinaikkannya persentase pajak hiburan untuk memaksimalkan pendapatan daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI. Pasalnya, tahun lalu pemerintah pusat memberikan keleluasaan pemerintah daerah untuk menentukan objek pajak.
Menurut Eneng, Pemprov DKI perlu memperketat pengawasan dan membenahi perizinan untuk usaha tempat hiburan. Sebab, kenaikan pajak ini berimbas kepada konsumen bukan pemilik atau pengusaha tempat hiburan. "Pajak hiburan ini dibebankan kepada customer, bukan ke pemilik usaha. Jadi memang nyaman enggak nyaman sih sama peraturan baru ini," kata Politisi PSI itu.
Eneng berujar di balik semua itu yang menjadi pertanyaan adalah sudah benar pendataan perizinan karena perizinan untuk usaha hiburan di Jakarta sangat sulit. Ia mengatakan sulitnya perizinan tempat hiburan ini karena berbenturan dengan aturan lain.
"Izin bangun restoran bisa tapi secara zonasi (kewilayahan) kadang tidak mendukung. Contoh, di Jakarta Selatan, areanya Al Azhar harusnya tidak boleh ada tempat hiburan atau cafe lounge dengan orang nyanyi-nyanyi atau jualan alkohol di atas lima persen tapi faktanya ada," kata dia.
Melihat dari fakta di lapangan, Eneng meminta Pemprov DKI untuk lebih menyadari soal tingkat kebocoran uang pajak dan membenahi perizinan lainnya jangan sampai saling tumpang tindih satu sama lain.
Menurutnya, setiap kebijakan baru perlu penyesuaian. "Satu atau dua tahun itu kan penyesuaian. Nah, kita nggak tahu nih yang 40 persen ini akan berlaku tahun ini atau penyesuaian dulu. Artinya, penyesuaian ini ada waktu untuk sosialisasi," kata Eneng.