TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK menolak gugatan tentang legalitas ganja untuk pengobatan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 Beserta Protokol yang Mengubahnya.
"Menolak permohonan para pemohon untuk semuanya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan gugatan legalitas ganja pada perkara Nomor 13/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu 20 Maret 2024.
Gugatan legalitas ganja itu diajukan oleh Pipit Sri Hartanti, ibu rumah tangga dan Supardji, karyawan swasta. Keduanya menginginkan ganja medis bisa digunakan sebagai terapi pengobatan. Namun saat ini pemanfaatannya terhalang oleh adanya ketentuan larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.
Sebab itu para pemohon meminta agar Pasal 1 angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1976 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28H ayat 2 UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menurut Mahkamah, sikap atau keputusan pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam kewajiban terhadap Mahkamah Internasional menyangkut interpretasi dan penerapan Konvensi Tunggal Narkotika. Terutama jika terjadi perselisihan bersifat politis. Yang merupakan bagian kebijakan politik luar negeri Indonesia sebagai suatu negara berdaulat.
"Terutama berdaulat dalam menentukan sikap politik luar negeri untuk terbebas dari ancaman peredaran gelap narkotika agar tidak terjadi instabilitas keamanan dalam negeri," kata hakim MK, Guntur Hamzah.
Itu menunjukkan Indonesia berdaulat dalam membangun sinergi--tidak terlibat kewajiban terhadap Mahkamah Internasional menyangkut interpretasi dan penerapan Konvensi Tunggal Narkotika. Guntur mengatakan Indonesia sebagai suatu negara berdaulat.
"Terutama berdaulat dalam menentukan sikap politik luar negeri untuk terbebas dari ancaman peredaran gelap narkotika agar tidak terjadi instabilitas keamanan dalam negeri," tutur Guntur.
Di samping itu, sikap itu menunjukkan Indonesia berdaulat dalam membangun sinergi dan kerja sama internasional dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan narkotika yang dilakukan secara terarah, maksimal, dan kolaboratif.
Adapun dalam pertimbangannya, Guntur mengatakan Indonesia tidak meratifikasi dokumen E/CN/7/2020/CRP.19. Sehingga Indonesia tidak terikat untuk melegalisasi penggunaan ganja medis untuk pelayanan kesehatan. Menurut dia, belum ada bukti ihwal pengkajian dan penelitian komprehensif pasca-putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
"Maka keinginan menjadikan ganja atau zat kanabis untuk layanan kesehatan sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh mahkamah untuk alasan rasionalnya diterima," ujar Guntur. Dia meminta pemerintah untuk melakukan kajian terkait penggunaan ganja medis. Menurut Guntur, hal itu diperlukan agar isu ganja medis bisa terjawab secara ilmiah.
Pilihan Editor: Setelah Ultimatum dari Otorita IKN, Muncul Surat Peringatan Badan Bank Tanah ke Warga Agar Berhenti Menggarap Lahan