TEMPO.CO, Jakarta - Kapolda Sumatera Barat, Inspektur Jenderal Suharyono, membantah adanya penyiksaan oleh anggotanya dalam kasus kematian bocah berusia 13 tahun, Afif Maulana atau AM. Pihaknya menyebut hanya ada “pelanggaran prosedur” yang dilakukan oleh anggotanya, tetapi tak berhubungan dengan kematian Afif.
“Tidak ada penyiksaan, hanya pelanggaran prosedur,” kata Kapolda Sumbar Irjen Suharyono, saat konferensi pers di Mapolda Sumatera Barat, Ahad kemarin, 30 Juni 2024.
Sebelumnya, Afif ditemukan tak bernyawa di bawah Jembatan Kuranji pada Ahad siang, 9 Juni 2024. Investigasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang menyebutkan Afif diduga tewas setelah tertangkap oleh sejumlah anggota polisi yang hendak menggagalkan aksi tawuran.
LBH Padang juga menyatakan menerima laporan dari sejumlah korban lainnya yang mengalami penyiksaan dari anggota polisi. Korban, menurut hasil investigasi itu, mengaku mengalami penyiksaan seperti disundut rokok, dipukul, hingga disetrum.
Berdasarkan foto yang didapatkan Tempo, terdapat 15 titik sulutan rokok di salah satu tubuh korban. Sementara di tubuh korban lainnya terdapat bekas luka seperti pecutan sepanjang 20 sentimeter.
Tapi Suharyono membantah adanya penyiksaan yang dilakukan Anggota Sabhara Polda Sumatera Barat. Dia menyatakan hal itu hanya pelanggaran prosedur. Menurutnya, tindakan anggotanya tersebut belum masuk kategori penyiksaan.
“Saya sudah tanya kepada anggota yang diperiksa, berapa kali dan apa yang mereka lakukan. Mereka menjawab satu kali memukul dan ada yang menjawab menendang. Semuanya sudah tanyai dan anggota kami menjawab dengan jujur,” kata Suharyono.
Pengertian penyiksaan
Bantahan Polda Sumbar soal adanya penyiksaan dalam kasus kematian Afif menimbulkan ambigu. Pihaknya menyebut anggotanya telah mengakui melakukan tindakan pemukulan dan penendangan dalam melakukan pemeriksaan. Kendati demikian, perlakuan itu alih-alih disebut penyiksaan tetapi sebagai “pelanggaran prosedur”.
Lantas apa sebenarnya makna penyiksaan?
Menurut KBBI, penyiksaan diartikan sebagai tindakan menyiksa. Adapun menyiksa adalah menghukum dengan menyengsarakan (menyakiti, menganiaya, dan sebagainya). Penyiksaan juga dimaknai sebagai tindakan yang menimbulkan rasa sakit yang parah pada seseorang sebagai hukuman karena menyembunyikan informasi rahasia tertentu.
Menurut Wakil Ketua Eksternal Komnas Ham Amiruddin, penyiksaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang menimbulkan rasa sakit, baik penderitaan jasmani atau rohani untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dan dilakukan pejabat publik. Hal itu disampaikannya dalam Pelatihan Penguatan Penegakan Hukum melalui Pendidikan Hukum Berkelanjutan bagi Organisasi Advokat.
“Penyiksaan terjadi mulai saat penangkapan, pemeriksaan, penahanan, hingga selama menjalankan hukuman,” kata Amir pada Selasa, 2 November 2021 lalu, dilansir dari Komnasham.go.id
Di Indonesia, konsep mengenai penyiksaan sesuai Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Regulasi tersebut merupakan ratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment Punishment (UNCAT).
Kendati sudah ada regulasi larangan penyiksaan, menurut Amir, perbuatan ini masih lazim terjadi dan kerap digunakan lembaga penegak hukum kepada tersangka suatu perkara demi mengungkap informasi. Amir menegaskan bahwa tindakan penyiksaan bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia. Pengakuan dan jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan telah diatur pada Pasal 28G Ayat 2.
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain,” kata Amir.
Dinukil dari Jdih.banyuwangikab.go.id, penyiksaan dalam hukum Indonesia masuk kategori tindak pidana penganiayaan. Tindak pidana penganiayaan merupakan perlakuan sewenang-wenang dalam rangka menyiksa atau menindas orang lain. Penganiayaan yang mendatangkan rasa sakit atau luka pada badan atau anggota badan orang lain merupakan tindakan melawan hukum.
Suatu penyiksaan dapat dikategorikan penganiayaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 90 KUHP apabila korban:
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
2. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.
3. Kehilangan salah satu pancaindera.
4. Mendapat cacat berat.
5. Menderita sakit lumpuh.
6. Terganggu daya pikir selama empat minggu atau lebih.
7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Selanjutnya: 6 jenis bentuk tindak pidana penganiayaan