TEMPO.CO, Jakarta - Siswi korban kekerasan seksual yang dilakukan gurunya di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Gorontalo dikabarkan dikeluarkan dari sekolah. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai sekolah ingin melepaskan diri dari tanggung jawab atas kasus tersebut.
Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo mengatakan madrasah seharusnya melokalisir kasus ini dengan tidak memindahkan korban ke sekolah lain dengan dalih melanggar aturan pencemaran nama baik sekolah.
"Karena jika siswa harus pindah sekolah ada kemungkinan si anak akan mendapat cemoohan, di-bully di sekolah lain karena kasus ini sudah viral " ujar Heru Purnomo sat dihubungi, Sabtu, 28 September 2024.
Heru menjelaskan kekerasan seksual di lembaga pendidikan bisa dicegah dengan mengotimalkan peran pengawasan dari Kepala Sekolah dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tim TPPK merupakan amanat dari Permendikbudristek nomor 46 Tahun 2023, yang memerintahkan setiap satuan pendidikan (sekolah) membentuk tim tersebut. "Tapi ini kembali lagi ke lembaga pendidikannya, apakah dijalankan atau tidak," ujar dia.
Sebelumnya, viral video asusila yang dilakukan DH, 57 tahun, seorang guru, kepada muridnya yang duduk di bangku kelas XII. Beredar informasi pihak sekolah akan memfasilitasi pemindahan sekolah korban karena dianggap melanggar aturan internal sekolah yakni pencemaran nama baik sekolah.
Polisi menyatakan ada hubungan asmara antara guru dan murid tersebut. Namun, Heru menjelaskan apapun alasannya, perbuatan tersebut tetap merupakan bentuk kekerasan seksual anak.
Ia mengutip Pasal 76E Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang melarang bujuk rayu kepada anak untuk melakukan perbuatan cabul: “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Menurut Heru, semua pihak termasuk sekolah, seharusnya memberikan pendampingan secara psikologis kepada si anak agar dia tidak dua kali menjadi korban, yakni korban asusila dan korban pencemaran nama baik.
Polres Gorontalo telah menetapkan DH sebagai tersangka dan menahannya. Polisi menjeratnya dengan Pasal 81 Ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun penjara dan paling lama 15 tahun penjara.
"Dengan tambahan pidana penjara sepertiga dari ancaman pidana karena yang bersangkutan adalah tenaga pendidik," ujar Kapolres Gorontalo Ajun Komisaris Besar Deddy Herman dalam keterangan resminya, 26 September 2024.
Deddy mengatakan pelaku melakukan kekerasan seksual kepada korban pertama kali pada Januari 2024 dan terakhir pada September 2024. Modusnya, DH mendekati korban sejak 2022 dengan cara membantu pengerjaan tugas dan memberi perhatian lebih.
Pilihan Editor: Blak-Blakan Eks Petinggi Jamaah Islamiyah: Militer JI Ikut Dibubarkan, Senjata Diserahkan