TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, mengatakan bahwa mantan menteri perdagangan itu dicecar oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) soal surat impor gula.
“Tadi masih ditunjukkan tentang surat-surat yang dibuat oleh Pak Tom dan surat-surat yang masuk ke Pak Tom juga, surat yang dibuat Pak Tom ke BUMN,” kata Ari di Gedung Kejaksaan Agung pada Jumat malam, 1 November 2024.
Mantan menteri perdagangan 2015-2026 era Presiden Joko Widodo menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung selama 10 jam setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi impor gula.
Keterlibatan Tom dalam kasus ini adalah memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk diolah menjadi gula kristal putih.
Padahal, dalam rapat koordinasi (rakor) antarkementerian pada 12 Mei 2015 disimpulkan bahwa Indonesia sedang mengalami surplus gula, sehingga tidak memerlukan impor gula.
Terkait surat yang menjadi akar permasalahan dalam kasus impor gula ini, Ari mengatakan bahwa menurut Tom Lembong, surat tersebut telah melalui proses berjenjang di Kementerian Perdagangan.
“Surat-surat yang masuk ke beliau itu kan lanjutan dari menteri sebelumnya karena dari surat-surat yang masuk ke beliau itu me-refer surat-surat dari menteri sebelumnya. Pak Tom itu kan menjabat lanjutan kan dari menteri sebelummya,” ucapnya.
Lantaran merupakan lanjutan dari menteri sebelumnya, lanjut Ari, Tom Lembong pun tetap merapatkan dengan staf-staf yang mengetahui surat tersebut sejak awal agar tahu kelanjutannya.
“Dan tentunya keinginan Pak Tom mengeluarkan kebijakan tentunya berdasarkan good governance, artinya pemerintahan yang baik, administrasinya juga benar,” ucapnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa pemeriksaan 10 jam itu belum menyentuh bagian Tom Lembong memberikan izin persetujuan impor gula mentah kepada PT AP.
“Tadi masih berkutat dengan surat-surat awal itu dan memang suratnya banyak yang beliau lupa, lalu dipelajari lagi, diingat-ingat lagi, baru dijawab sama beliau,” ujarnya.
Pada Jumat, 1 November 2024, Tom Lembong menjalani pemeriksaan mulai pukul 09.58 WIB sampai dengan pukul 20.27 WIB. Pemeriksaan ini menjadi kali pertama bagi Tom usai ditetapkan sebagai tersangka. Sebelumnya, ia diperiksa oleh penyidik Kejagung sebagai saksi.
Dalam kasus ini, Kejagung juga menetapkan satu tersangka lain, yaitu CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Dalam keterangannya, Kejagung menuturkan bahwa pada 28 Desember 2015, dalam rakor bidang perekonomian yang dihadiri kementerian di bawah Kemenko Perekonomian, dibahas bahwa Indonesia pada tahun 2016 kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional.
Pada November–Desember 2015, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.
Pertemuan itu untuk membahas kerja sama impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih.
Pada Januari 2016, tersangka Tom Lembong menandatangani surat penugasan kepada PT PPI yang pada intinya menugaskan perusahaan tersebut untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih sebanyak 300.000 ton.
Selanjutnya, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan tersebut. Kejagung mengatakan bahwa seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung dan yang hanya dapat melakukan impor adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT PPI.
Akan tetapi, dengan sepengetahuan dan persetujuan tersangka Tom Lembong, persetujuan impor gula kristal mentah itu ditandatangani. Delapan perusahaan yang ditugaskan mengolah gula kristal mentah itu sejatinya juga hanya memiliki izin untuk memproduksi gula rafinasi.
Hasil gula kristal putih yang diproduksi delapan perusahaan tersebut kemudian seolah-olah dibeli oleh PT PPI. Padahal, gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang sebesar Rp13.000 per kilogram dan tidak dilakukan melalui operasi pasar.
Dari praktik tersebut, PT PPI mendapatkan upah sebesar Rp105 per kilogram dari delapan perusahaan yang terlibat.
Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai kurang lebih Rp400 miliar, yakni nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik BUMN atau PT PPI.
Pilihan Editor: Pengacara Tom Lembong Sebut Kebijakan Impor Gula Telah Dibahas di Rakor Kemenko Perekonomian