TEMPO.CO, Jakarta - Sidang Peninjauan Kembali (PK) Jessica Wongso diwarnai dengan adu argumen dari Jaksa Penuntut Umum selaku termohon dan ahli forensik digital, Rismon Hasiholan Sianipar, saat memberikan kesaksian. Rismon mengungkapkan bahwa analisis metadata CCTV dalam kasus kopi sianida atau pembunuhan Wayan Mirna Salihin didasarkan pada pengalamannya selama 30 tahun di bidang forensik, tanpa menggunakan tools atau alat digital khusus.
"Saya tanya kepada Saudara mekanisme atau metode atau tools yang Saudara gunakan dalam menganalisa yang sudah dijelaskan di sini, karena Saudara menjelaskan cukup yakin ya. Kemudian juga apa sumber data yang Saudara gunakan dalam menganalisa bukti CCTV ini?" tanya Jaksa kepada Rismon di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, 4 November 2024.
“Ilmu pengetahuan yang saya dapatkan selama 30 tahun ini memungkinkan saya membedakan metadata mana yang direkayasa dan mana yang tidak,” jawab Rismon di hadapan majelis hakim.
Rismon menjelaskan bahwa selama puluhan tahun berkarier, dia telah mengembangkan kemampuan untuk memahami aspek teknis rekaman video seperti format, laju frame, dan kualitas codec. Dalam kasus Jessica Wongso, dia menyoroti rekaman video yang mengalami penurunan kualitas signifikan akibat penggunaan codec yang sudah usang, yakni MPEG-4 visual, yang seharusnya digantikan oleh format yang lebih maju seperti H.264.
“Semua objek menjadi kabur,” ujar Rismon. Dia menjelaskan bahwa kualitas rekaman berkurang dari 2 juta pixel per frame menjadi hanya 0,5 juta pixel. Kondisi ini, berdasarkan kesaksiannya, membuat analisis visual menjadi lebih sulit dan rentan terhadap kesalahan interpretasi.
Pernyataan Rismon yang mengandalkan pengalaman tanpa tools modern memicu pertanyaan dari Jaksa. Jaksa menyinggung pentingnya standar internasional seperti ISO 17025 yang menjamin keakuratan hasil forensik digital. Namun, Rismon menekankan bahwa apa yang ia lakukan adalah murni analisis metadata, bukan pengolahan bukti digital yang seharusnya mengikuti standar ISO tersebut.
“Saya bukan melakukan Digital Evidence Handling, tetapi analisa metadata sebagai bagian dari proses forensik,” tutur Rismon. Sambil mengklaim soal pengalamannya yang luas, dia yakin dapat memberikan hasil yang kredibel meskipun metodenya berbeda dari standar yang digunakan oleh laboratorium forensik terakreditasi.
Dalam kesaksiannya, Rismon mengungkapkan bahwa rekaman kamera CCTV yang menjadi barang bukti dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin telah mengalami distorsi sebesar 89,6 persen. Distorsi atau penyimpangan itu, lanjut dia, terjadi pada rekaman CCTV nomor 9 yang merekam suasana di Kafe Olivier, Grand Indonesia, tempat kejadian perkara yang menewaskan Mirna pada 2016 lalu. Menurut dia, manipulasi terjadi pada dimensi dan laju frame rekaman, yang menggunakan perangkat lunak gratis, freeware Erightsoft dan Freemake.
"Akibat manipulasi dan rekayasa menggunakan freeware baik terhadap dimensi dan laju frame itu membuat data digital (rekaman CCTV) menjadi distorsi menjadi 89,6 persen," ujar dia saat bersaksi hadapan majelis hakim dalam ruang sidang Wirjono Projodikoro 3.
Jessica Wongso divonis 20 tahun penjara atas kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin pada 2016 dan telah bebas bersyarat sejak 18 Agustus 2024. Sesuai aturan Kementerian Hukum dan HAM, meski bebas dari tahanan, Jessica masih harus menjalani pembimbingan dan wajib melapor hingga 2032.
Meskipun sudah bebas bersyarat, Jessica Wongso tetap mengajukan Peninjauan Kembali (PK) karena merasa tidak bersalah dan ingin memulihkan nama baiknya. Otto Hasibuan, kuasa hukum yang sebelumnya mengajukan proses hukum ini, menekankan bahwa PK kali ini bertujuan agar Jessica mendapatkan keadilan penuh serta perlindungan atas hak-haknya dan memulihkan nama baiknya.
Pilihan Editor: Jaksa Cecar Ahli Forensik Digital soal Asal-usul Novum CCTV di Kasus Jessica Wongso