TEMPO.CO, Jakarta - Ada yang unik dalam misa Natal di Gereja Tugu, Jakarta Utara. Di gereja yang dibangun pada 1747 ini lagu-lagu Natal seperti Malam Kudus dinyanyikan dengan iringan musik keroncong yang syahdu.
Musik keroncong memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari warga Kampung Tugu. Pasalnya, sejak abad ke-17, nenek moyang mereka yang datang dari Portugis telah memainkannya.
"Kami main keroncong tidak hanya di rumah, tapi juga di gereja untuk mengiringi ibadah. Orang Tugu tidak pernah lepas dari alat musik keroncong," kata Arthur Michiels, juru bicara Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT), di sela perayaan Natal di Gereja Tugu, Ahad 25 Desember 2011.
Misa Natal di Gereja Tugu yang dimulai sekitar pukul 09.00 pagi tadi itu tak begitu ramai. Hanya sekitar seratus jemaat yang menghadirinya. Ini pun merupakan misa terakhir yang digelar hari ini setelah pada malam Natal kemarin diadakan dua kali misa, yakni pada pukul 18.00 dan 21.00.
Menurut Arthur yang juga pemain kontra bass dalam kelompok musik Krontjong Toegoe, ada 150 kelapa keluarga dengan sekitar 750 jiwa yang menjadi jemaat Gereja Tugu. Namun mereka tidak berkumpul dalam komunitas di Kampung Tugu melainkan menyebar di seluruh Indonesia. "Kami justru lebih sering berkumpul di gereja saat Tahun Baru," ujar paman pesepakbola Diego Michiels ini.
Selain acara misa yang lebih sepi, perayaan Natal di lingkungan Kampung Tugu juga tak semarak. Ornamen seperti pohon Natal hanya dipasang di dalam gereja.
Vicky, 50 tahun, salah satu jemaat Gereja Tugu, menyatakan saat ini warga Kampung Tugu hanya mengisi kegiatan Natal yang bersifat religius, yaitu berdoa, merenung, dan berkumpul bersama keluarga. Berbeda dengan periode 1970-an, saat warga banyak berkeliling kampung di malam hari sambil membawa lampion untuk saling berkunjung. "Sekarang tidak lagi. Jadi setelah dari gereja ya pulang ke rumah masing-masing saja," ujarnya.
Keberadaan Kampung Tugu tak bisa dipisahkan dari bangsa Portugis yang mendarat di Jakarta pada 1661. Kata "Tugu" sendiri konon berasal dari kata "Por-tugu-esa" yang berarti perkampungan bangsa Portugis.
Tujuh tahun kemudian, seorang pendeta bernama Melchiorleydecker yang juga keturunan Portugis mendirikan gereja di Kampung Tugu. Namun pada tahun 1740, saat Gubernur Jendral Andriaan Valcenier menjabat, terjadi pemberontakan Cina On Lusten, sehingga Gereja Tugu dibakar.
Gereja yang kini menjadi bangunan cagar budaya itu kemudian dibangun ulang oleh seorang tuan tanah yang bernama Yustinus Vinc pada 1744 dan selesai pada 1747.
PINGIT ARIA