TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Anti Persekusi mendesak pemerintah dalam hal ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kepolisian untuk melakukan investigasi serius atas persekusi yang terjadi beberapa waktu terakhir. Berdasarkan data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), sejak 27 Januari 2017 hingga 31 Mei 2017 terdapat 59 orang korban persekusi, khususnya yaitu mereka yang dicap sebagai penista agama atau ulama.
"Melihat meluasnya pola persekusi, kami menuntut negara menyelidiki lebih dalam siapa aktor yang merancang persekusi," ujar Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, dalam konferensi pers di kantornya, Menteng, Jakarta, Kamis, 1 Juni 2017.
Asfin menuturkan lembaganya bersama seluruh pihak yang tergabung dalam koalisi ini meminta pemerintah tidak menganggap persekusi sebagai hal sepele atau cepat memutuskan sebagai konflik horizonal atau intoleran.
"Karena yang sebetulnya terjadi ada sekelompok orang menjadi polisi, jaksa, dan hakim, memburu dan menyatakan seseorang bersalah tanpa melakukan proses hukum," ucapnya.
Asfin menuturkan jika dibiarkan maka negara bisa menjadi lumpuh karena perbuatan segelintir orang atau kelompok. Selanjutnya, Kepolisian juga didesak untuk menegakkan hukum, dengan aktif menghentikan tindakan sewenang-wenang individu atau kelompok yang menetapkan seseorang telah bersalah dan melakukan tindakan apa pun atas tuduhan sepihak tersebut.
Baca: SAFEnet Minta Pemerintah Waspadai Aksi Persekusi Ahok Effect
Lebih lanjut, Asfin menambahkan pemerintah juga perlu mengkaji kembali usulan untuk menonaktifkan pasal karet seperti pasal penodaan agama. "Karena pasal ini seolah-olah dapat digunakan untuk kepentingan masing-masing kelompok." Selain itu juga disertai penegakan hukum atas ancaman kekerasan dan siaran kebencian.
Masyarakat luas juga diimbau untuk tidak melakukan siar kebencian karena dalam sejarahnya hal tersebut dapat menjadi awal dari genosida atau pembasmian suatu kelompok tertentu, serta pecahnya bangsa.
Salah satu kasus persekusi yang terjadi baru-baru ini adalah yang menimpa seorang dokter asal Solok, Sumatera Barat, bernama Fiera Lovita. Dia menjadi korban persekusi setelah awalnya mengunggah sebuah status di media sosial Facebook, tentang pandangan dan pendapatnya mengenai kasus dugaan chat mesum pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab.
"Kalau tidak salah, kenapa kabur? Toh ada 300 pengacara n 7 juta ummat yg siap mendampingimu, jangan run away lg dunk bib” “kadang fanatisme sudah membuat akal sehat n logika tdk berfungsi lagi, udah zinah, kabur lg, masih dipuja & dibela” “masi ada yg berkoar2 klo ulama mesumnya kena fitnah, loh...dianya kaburr, mau di tabayyun polisi beserta barbuk ajah ga berani,” tulis Fiera, pada periode 19-21 Mei lalu.
Fiera yang juga hadir dalam konferensi pers menuturkan status Facebook miliknya itu lalu ramai disebarkan, bahkan ditambahkan dengan kalimat-kalimat provokasi lainnya, sehingga menyebabkan dia mendapatkan intimidasi dan teror dari sejumlah pihak.
Baca: Ketua MUI Larang Massa Lakukan Persekusi di Sosial Media
Hal itu membuat Fiera dan kedua anaknya harus mengungsi sementara dari kediamannya di Solok, Sumatera Barat, karena terus diburu oleh orang-orang yang menganggap dia telah menghina ulama dengan membuat status tersebut.
"Beberapa orang termasuk dari LBH Kota Padang mengatakan postingan saya tidak bisa dituntut secara hukum sama sekali, karena tidak menyebutkan nama dan tidak ada foto," ujarnya. Menurut Fiera, pihak-pihak yang melakukan intimidasi itu juga berani memburunya karena memandang posisi dia yang lemah, sebagai seorang perempuan.
"Banyak yang statusnya lebih ekstrem dari saya, mungkin mereka mencari target yang dianggap lemah, kalau misalnya laki-laki mungkin nggak berani menggeruduk," katanya.
Fiera mengatakan tindakan intimidasi yang dilakukan kepadanya juga terjadi dengan sistematis dan terorganisir. "Saya minta kasus ini cukup sampai di sini dan buat pembelajaran kita semua, saya harap bisa hidup aman dan tenang dengan anak-anak dan bisa bekerja seperti sedia kala."
GHOIDA RAHMAH