Ilustrasi Barang bukti narkoba. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Jakarta - Kriminolog dari Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon, menganggap tertangkapnya polisi divisi narkoba saat hendak bertransaksi narkoba sebagai sebuah ironi. Sebagai anggota yang menjadi ujung tombak dalam perang terhadap narkoba, ia dianggap mencoreng reputasi institusi polisi.
"Saatnya polisi menunjukkan komitmen dalam pemberantasan narkoba dan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Proses anggota itu sesuai ketentuan hukum yang berlaku, jangan dilindungi," kata Simon saat dihubungi Tempo, Ahad, 18 Januari 2015.
Menurut dia, kepercayaan masyarakat juga akan terkikis. Terlebih, ini bukan pertama kali polisi terlibat dalam rantai narkoba, entah sebagai pengedar ataupun hanya pemakai. "Kepolisian dengan Badan Narkotika Nasional harus sinkron dalam memberantas narkoba, jangan sampai kecolongan seperti ini," katanya.
Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat serta menjaga komitmen berantas narkoba, kata Simon, polisi harus transparan dalam mengungkap kasus ini. Polisi juga diminta tak segan memberikan sanksi berat supaya pemberantasan narkoba berjalan efektif.
Selama ini, kata Simon, ada kesan polisi cenderung melindungi anggota yang terlibat dalam sindikat narkoba. Keuntungan yang didapatkan biasanya adalah hukuman yang dijatuhkan bersifat minimal, bahkan tak jarang dilepaskan. "Alasan yang biasanya sering dikemukakan untuk membela adalah sedang menyelidiki alur perdagangan barang," kata Simon.
Ia berharap kepolisian tak mengeluarkan pernyataan seperti itu untuk melindungi anggota yang bersalah. Sebab, menurut dia, sudah tidak zaman mengikuti jejak bandar dan peredaran barang dengan terlibat di dalamnya. "Sudah ada bermacam teknologi yang bisa dimaksimalkan pemanfaatannya dan tak semua kasus harus menggunakan metode itu," kata Simon. (Baca: Tiga Polisi Pesta Narkoba Terancam Dipecat)