Suasana sepi di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis, 9 Juli 2020. Persyaratan tersebut di antaranyai identitas diri, dokumen penerbangan, dan hasil rapid atau PCR test negatif COVID-19. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
TEMPO.CO, Tangerang -Penyidik Polres Kota Bandara Soekarno-Hatta hingga kini masih menelusuri informasi gelar akademisi sarjana kedokteran EFY, tersangka pemerasan dan pelecehan seksualrapid test di Bandara Soekarno-Hatta.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Kota Bandara Soekarno-Hatta Komisaris Akhmad Alexander Yurikho mengatakan penyidik telah mengambil keterangan pihak PT Kimia Farma dan didapatkan keterangan bahwa tersangka memiliki gelar akademis Sarjana Kedokteran (S.Ked).
"Akan Penyidik pastikan status akademik dari tersangka dengan berkonfirmasi ke universitas swasta di Sumatera Utara tempat tersangka menempuh pendidikan," ujar Alexander saat dihubungi Tempo, Jumat 25 September 2020.
Soal kepastian apakah EFY seorang dokter atau bukan, Alexander mengatakanIDI akan segera memberikan keterangan untuk lebih memastikan profesi dan status tersangka EFY.
Alexander memastikan EFY saat ini belum ditangkap. "Mohon doa dari masyarakat supaya penyidik segera dapat mengambil keterangan tersangka yang tujuan utamanya untuk membuat terang perkara ini."
Polisi menjerat EFY tersangka pemerasan dan pelecehan seksual saat proses rapid tes di Bandara Soekarno-Hatta dengan pasal berlapis.
Alexander Yurikho mengatakan tersangka dijerat pasal 289 KUHPidana dan atau 294 KUHPidana dan atau 368 KUHPidana dan atau 378 KUHPidana. "Dengan ancaman maksimal 9 tahun penjara," ujarnya.
Pengenaan pasal pemerasan penipuan dan pelecehan seksual kepada tersangka itu, menurut Yurikho, berdasarkan fakta hukum dan alat bukti yang didapatkan dari proses penyidikan. Yurikho mengakui alat bukti diantaranya bukti transfer uang dan rekaman CCTV.
Sebelumnya polisi menetapkab EFY sebagai tersangka dengan persangkaan Pasal 378 KUHP tentang penipuan. EFY menyatakan hasil tes cepat LHI reaktif padahal tes ulang yang dilakukan LHI di Nias menunjukkan nonreaktif.
Kasus ini viral setelah korban menceritakan kronologi pelecehan dan pemerasan yang dialaminya saat menjalani rapid test di Bandara Soekarno-Hatta.