Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Divonis 6 Tahun Penjara Kasus Gratifikasi, Apa Bedanya dengan Suap?
Reporter
Ananda Ridho Sulistya
Editor
S. Dian Andryanto
Kamis, 29 Agustus 2024 07:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto divonis Majelis Hakim Pengadila Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan enam tahun penjara serta denda 500 juta subsider kurungan empat bulan.
Eko Darmanto ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik lembaga antikorupsi setelah kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU naik ke tahap penyidikan. Kasus ini terkuak setelah Eko tidak melaporkan aset bernilai ekonomis dalam LHKPN.
KPK mendalami aliran gratifikasi yang diterima Eko dengan memeriksa sejumlah saksi. Ali Fikri menyatakan bahwa tim penyidik KPK telah memeriksa tiga saksi, yaitu Direktur PT Emerald Perdana Sakti Ayu Andhini, pihak swasta Yosep Krisnawan Adi, dan Ratna Aditya Enggit Pramesty. Sebelumnya, pada 20 September 2023, KPK juga telah memeriksa pengusaha Irwan Mussry sebagai saksi dalam kasus gratifikasi yang melibatkan Eko.
Eko resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 8 Desember 2023 terkait kasus gratifikasi dan TPPU. Pada 14 Maret 2024, Jaksa Penuntut Umum KPK menuduh Eko Darmanto menerima gratifikasi senilai Rp23,5 miliar dari berbagai pihak, termasuk dari suami penyanyi Maia Estianty, Irwan Daniel Mussry alias Irwan Mussry.
Kasus ini menimbulkan diskusi tentang perbedaan antara gratifikasi dan suap, dua istilah yang sering kali disalahpahami sebagai hal yang sama, meskipun sebenarnya memiliki perbedaan signifikan dalam konteks hukum. Lalu apa bedanya gratifikasi dan suap?
Perbedaan gratifikasi dan suap
Gratifikasi dan suap adalah dua istilah yang erat kaitannya dengan tindakan korupsi. Dalam banyak pemberitaan, kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian, meskipun sebenarnya memiliki arti yang berbeda.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi merujuk pada pemberian yang diterima sebagai imbalan atas jasa atau manfaat yang diperoleh. Di sisi lain, suap diartikan lebih sederhana, yaitu uang pelicin atau alat sogok yang diberikan untuk mencapai tujuan tertentu.
Walaupun secara kebahasaan perbedaan antara gratifikasi dan suap tidak begitu tampak, perbedaan keduanya terletak pada adanya kesepakatan atau meeting of minds.
Dalam kasus suap, terjadi kesepakatan antara pemberi suap dan penerima. Contohnya, seseorang mungkin berjanji memberikan sejumlah uang kepada rekannya jika ia berhasil menaikkan jabatan orang tersebut. Tindakan ini disebut suap ketika ada persetujuan dari kedua belah pihak.
Sebaliknya, dalam gratifikasi, imbalan diberikan tanpa adanya kesepakatan sebelumnya. Misalnya, seorang atasan mengangkat bawahannya menjadi sekretaris, lalu bawahan tersebut memberikan hadiah sebagai tanda terima kasih. Tindakan ini disebut gratifikasi.
Oleh karena itu, tidak semua gratifikasi dapat dianggap sebagai tindakan yang berbahaya atau termasuk dalam kategori korupsi. Mengacu pada Pasal 12 B Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, istilah gratifikasi sebenarnya bersifat netral, tanpa konotasi negatif atau tindakan tercela yang melekat pada maknanya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.09/2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan, gratifikasi terbagi menjadi dua jenis: gratifikasi yang harus dilaporkan dan gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001, seseorang yang terbukti menerima gratifikasi dapat dijatuhi hukuman penjara dengan durasi minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Selain itu, pelaku juga dapat dikenai denda yang berkisar antara Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
ANANDA RIDHO SULISTYA | MUTIA YUANTISYA
Pilihan Editor: Vonis 6 Tahun Penjara untuk Eko Darmanto, Berikut Kasus Gratifikasi Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta