TEMPO.CO, Tangerang - Cafe Sabela, tempat karaoke yang menjadi tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan Ana Rusmana, sebenarnya tak layak disebut kafe bila dilihat dari tampilannya. Bangunan di Jalan Kali Prancis Kecamatan Benda, Kota Tangerang, yang disebut kafe itu lebih layak disebut warung remang-remang.
Menilik dindingnya, hampir seluruhnya terbuat dari triplek. Hanya setengah meter di bagian bawah yang berdinding batako.
Bangunan beratap asbes itu memanjang ke belakang. Tak ada jendela, bahkan ventilasi. Seluruh dinding dicat warna biru, dan lantai teras masih tanah. Pada bagian depan kafe remang-remang itu dipasangi styrofoam bertuliskan Cafe Sabela.
Baca: Berebut Pemandu Karaoke, Antong Bunuh Ana di Cafe Sabela
Kepala Polres Metropolitan Tangerang Kota Komisaris Besar Harry Kurniawan menyatakan kafe yang beroperasi dua bulan terakhir itu tak berizin. "Kami menduga tidak berizin. Pemiliknya sedang dicari. Ini baru dua bulan beroperasi," katanya, Kamis, 27 September 2017.
Sejak terjadi pengeroyokan yang menyebabkan satu korban tewas, Cafe Sabela ditutup dan diberi garis polisi. Seorang anggota polisi mengatakan bagian dalam Cafe Sabela tak jauh berbeda dengan tempat karaoke lain di sebelahnya.
Hanya berjarak lima meter dari Cafe Sabela memang terdapat bangunan lain. Bangunan itu pun beratap asbes dan berdinding triplek. Pada bagian depan bangunan tempat karaoke itu ada tulisan Daeng.
Hanya dua tempat ini yang ada namanya. Bangunan lain hanya mirip bedeng berupa warung makanan dan minuman biasa.
Baca: Pembunuhan di Cafe Sabela, Pengeroyok Adalah Nelayan dari Kamal
Ruangan di tempat karaoke Daeng cukup luas, bisa menampung sekitar 50-an orang. Pada bagian depan ada televisi LED 50 inci yang terlihat kusam. Ada pula kursi plastik yang ditumpuk.
Agak jauh dari dua kafe itu, ada warung yang juga ditinggali sebuah keluarga. Dariah, ibunya, suami, dan anaknya. "Saya dulu korban gusuran. Tempat ini pernah ditertibkan. Suami saya buruh pabrik dan tetap di sini untuk menumpang hidup dan jualan," kata Dariah. Dia menyebut menghabiskan Rp 6 juta untuk membangun rumah triplek itu.
Saat ditanya bagaimana suasana malam hari, terutama pada malam terjadinya pembunuhan, Dariah yang mengatakan menutup warungnya setiap pukul 20.00 itu tak mengetahui peristiwa itu. "Saya cuma dengar musik diputar kencang, tapi selebihnya tidak terlalu memperhatikan," ujarnya.
AYU CIPTA