TEMPO.CO, Jakarta - Tim Kuasa Hukum musikus Ahmad Dhani yang menyebut diri sebagai Advokat Cinta Tanah Air (Acta) mengungkapkan tiga hal yang bisa membebaskan musikus itu. Pengusutan kasus ujaran kebencian via media sosial tersebut pun dianggap tidak layak dilanjutkan.
Menurut anggota Acta, Ali Lubis, ada tiga hal itu adalah ketidakjelasan legal standing pelapor, substansi yang dipersoalkan tak memenuhi unsur pidana, serta suatu kewajaran melampiaskan ketidakpuasan via media sosial.
"Kami mempertanyakan apa kerugian hukum pelapor sehingga merasa berhak melaporkan kasus ini," kata Ali Lubis melalui keterangan tertulisnya pada Kamis, 30 November 2017.
Hari ini, Ahmad Dhani pertama kalinya diperiksa sebagai tersangka di Polres Jakarta Selatan karena dituduh menyebarkan ujaran kebencian berdasarkan SARA via sosial media. Ahmad Dhani ditetapkan sebagai tersangka setelah gelar perkara pada 23 November 2017. Dia diduga melanggar Pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pendiri kelompok musik Dewa 19 itu dilaporkan oleh pendiri Basuki Tjahaja Purnama (BTP) Network, Jack Lapian, pada Kamis, 9 Maret 2017 karena cuitan Dhani di akun Twitter @AHMADDHANIPRAST dianggap menyebarkan kebencian menjelang Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta putaran kedua.
Ahmad Dhani melalui @AHMADDHANIPRAST pada bulan Februari dan Maret 2017 berkali-kali menggunakan frasa 'penista agama.' Pada 5 Maret 2017, contohnya, dia menulis, “Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya -ADP.” Lalu 7 Maret 2017, “Sila Pertama KETUHANAN YME, PENISTA Agama jadi Gubernur...kalian WARAS?? -ADP."
Ali Lubis menjelaskan, ada ketidakjelasan legal standing Jack Lapian sehingga dia datang melapor ke polisi. "Apakah dia merasa nama baiknya dicemarkan oleh Ahmad Dhani?"
Dia menuturkan bahwa materi yang diposting di Twitter tak memenuhi unsur pidana sesuai Pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga Ahamd Dhani dijadikan tersangka. Kedua pasal itu mensyaratkan tersangka harus melakukan penyebaran informasi yang kenimbulkan kebencian Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA).
"Kami menilai tweet (Ahmad Dhani) tersebut bersifat umum dan tidak tendensius," ucapnya.
Menurut Ali Lubis, unggahan Dhani juga masih tergolong wajar karena sebatas melampiaskan ketidaksukaan. Perbuatan menista agama adalah perbuatan pidana di Indonesia maka wajar jika Ahmad Dhani menunjukkan ketidaksukaan kepada pendukung penista agama. Dia meminta dibedakan antara ketidaksukaan wajar yang manusiawi dan kebencian ekstrem yang provokatif.
Itu sebabnya, Acta menyatakan pengusutan kasus ini layak dihentikan karena kliennya hanya menyampaikan pendapat via emdia sosial. "Hak konstitusionalnya dijamin dalam UUD 1945," kata Ali Lubis membela Ahmad Dhani.