TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan diminta segera mengembalikan pengelolaan air bersih dari PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) kepada pemerintah. Caranya, terminasi kontrak.
Baca:
LBH Undang Bahas Swastanisasi Air, Begini Jawab Anies
"Cara tersebut menunjukkan dignity dari pemerintah," kata Pengacara publik dari Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta, Tommy Albert, di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad, 27 Januari 2019.
Koalisi kembali menggelar konferensi pers untuk menjawab respons pemerintah DKI atas pernyataan mereka tepat seminggu sebelumnya tentang desakan yang sama. Saat itu Anies dan timnya mengungkap sedang mengkaji sejumlah opsi dan kerugiannya untuk DKI.
Tommy berujar, terminasi menunjukkan wibawa pemerintah mempertahankan kepentingan rakyat atas air dengan menyerahkan pengelolaan sepenuhnya kepada Perusahaan Daerah PAM Jaya. Selain itu, terminasi dinilai sebagai cara yang memiliki potensi kerugian lebih kecil ketimbang opsi lain menghentikan privatisasi air.
Tommy menjabarkan, ada empat opsi lain selain terminasi kontrak. Keempatnya adalah pembelian saham Palyja dan Aetra, menunggu perjanjian berakhir, renegosisasi kontrak, serta privatisasi PAM Jaya dan memberikan sahamnya kepada Palyja dan Aetra.
Baca:
Putus Kontrak Swastanisasi Air? Anies Terancam Denda Rp 1,9 T
"Tapi cara-cara itu ada kerugian, pengusaha dapat untung double, sekarang mau diputus pun mereka untung lagi," kata dia.
Petugas pengelolaan air bersih Aetra, melakukan pemeriksaan terhadap pipa ilegal menggunakan, alat Tera meter. Tanjung Priok, Jakarta Utara, 19 Maret 2015. TEMPO/Dasril Roszandi
Sebelumnya, Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum bentukan Gubernur Anies Baswedan merekomendasikan pelbagai opsi yang bisa ditempuh pemerintah DKI untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung. Satu di antaranya adalah, pemerintah DKI membeli saham Palyja dan Aetra.
“Pemerintah daerah yang akan menelaah lebih jauh mana yang paling menguntungkan,” kata Anggota Tim Evaluasi, Tatak Ujiyati, seperti dikutip dari Koran Tempo Rabu 23 Januari 2019.
Pembelian saham Palyja disebut akan menguntungkan pemerintah DKI. Sebab, bila kontrak privatisasi air dengan operator swasta berlanjut sampai 2023, PAM Jaya berpotensi berutang hingga Rp 6,79 triliun kepada Palyja. Perkiraan utang itu berasal dari kewajiban PAM Jaya menanggung shortfall alias selisih biaya produksi dan penerimaan operator swasta.
Baca juga:
Swastanisasi Air, Anies Baswedan Pastikan DKI Tak Ikuti Kemenkeu
Adapun untuk Aetra, menurut anggota Tim Evaluasi, mekanisme pembelian saham tidak cocok. Sebab, Aetra memiliki utang kepada pihak lain. Utang itu akan menjadi tanggung jawab pemerintah DKI bila membeli saham Aetra.
Opsi lain yang bisa ditempuh pemerintahan Anies Baswedan ialah pemutusan kontrak kerja sama PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra. Namun pemutusan kontrak di tengah jalan itu berpotensi menimbulkan denda sekitar Rp 1,9 triliun. Adapun perjanjian kerja sama PAM Jaya dengan operator swasta itu baru berakhir pada 2023.